#12 Fahri dan Wulan.

141 11 0
                                    

Jum'at, 12 November 2021

" Gimana kemarin? lancar?" Tanya Fahri.

Daffin dan Fahri sedang makan siang dikantin dekat rumah sakit.

Daffin meminum airnya sebelum berbicara, karena ia baru saja memasukkan nasi kedalam mulutnya.

"Alhamdullillah,"

Temannya hanya mengangguk. Kini ia masih menunggu Daffin yang belum selesai makan.

"Emang kemarin kamu kemana? Ngelamar?" Tanyanya serius.

Daffin sedikit tersenyum, lalu mengeser piringnya kesamping.

" Ada urusan dikit."

" Sama nenek, kamu?"

" Sama camer,"

" Kamu bener itu emang? Kok, saya nggak pernah liat kamu sama itu? Kenapa sudah acara lamaran saja? Nggak terbuka kamu ya, sama temen sendiri."  Gerutunya.

Sedangkan Daffin sedari tadi terkekeh. Binggung sendiri, kenapa dia tidak begitu jelas berbicara. Kamu benar itu emang? Saya nggak pernah liat kamu sama itu? Huh, Daffin benar-benar tidak mengerti apa maksud dari kata itu.

" Kamu ini ngomong  yang  jelas. Itu apa maksudnya?"

" Ya, calon istrimu."

" Nanti kalau kamu liat calon istri saya, yang ada kamu malah suka, lagi." Tukasnya sedikit tertawa.

" Sembarangan, saya ini setia orangnya. Kalau sudah merasakan jatuh cinta pada seseorang, maka susah untuk berpaling! Kecuali dikhianatin."

" Ya, ya, ya...! Ngomong-ngomong, katanya kamu mau ngelamar dokter Wulan? Kapan?"

Tiba-tiba,wajahnya sedikit sedih. Daffin yang melihatnya merasa heran.

" Kenapa? Belum siap lagi?" Tanya Daffin lagi.

Ya,karena temannya ini sudah beberapa kali gagal hanya karna belum siap dan belum siap menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan ekspetsinya.

Dan sekarang itu terjadi, itu kenapa rautnya tiba-tiba berubah sedih.

Flashback on

Pulang dari rumah sakit, Wulan dan Fahri bertemu ditaman yang ada disekitar rumah sakit. Mereka menaiki kendaraan masing-masing, karena Wulan tidak mau nanti akan timbul Fitnah.

Mereka duduk disalah satu kursi taman. Menikmati udara sore. Apalagi disana tempatnya sangat indah, banyak pepohonan dan tanaman hias lainnya.
Mereka membawa minuman botol. Mereka membelinya sebelum pergi kesana.

" Bagus ya tempatnya." Tutur Fahri.

Kini matanya memandang kesekitar. Menikmati pemandangan yang bagus menurutnya. Apalagi disampingnya. Hah, mengalahkan tempat dan seisinya.

" Iya! Oya, katanya tadi mau ngomongin sesuatu? Kamu mau ngomong apa?"

Takut dan gugup itulah yang ia rasakan. Jantungnya saja sudah berdebar sejak tadi.

" Saya mau melamar kamu!" Ucapnya to the point.

Rasanya Wulan tidak menyanggka. Jantungnya berdebar begitu saja. Bagaimana mungkin sahabat orang yang ia cintai ingin melamarnya.

" Saya tau ini terlalu lancang dan saya yakin kamu mungkin syok mendengar tuturan saya tadi. Tapi, saya benar-benar serius ingin menjadikan kamu istri saya. Saya tau, mungkin ini terlalu mendadak tapi saya sudah mencintai kamu sejak dulu."

Wulan masih terdiam, bukan Fahri yang ia harapkan tapi, Daffin.

" Maaf, saya belum siap untuk menikah! Saya merasa belum pantas."

"Kalau masalah pantas tidaknya, nanti kita bisa belajar untuk saling memantaskan. Tapi, kesiapan juga penting. Saya mengerti, "

Pedih rasanya dada, Fahri. Fahri tau, Wulan bukannya belum siap. Melainkan ia mencintai Daffin bukan dirinya.

" Maaf,"

" Tidak apa-apa!  In shaa allah jika Allah menghendaki saya akan menunggu."

Wulan mencoba memaksakan tersenyum. Apa dia harus belajar melupakan, Daffin dan mencoba membuka hati untuk Fahri temannya? Sungguh pikirannya saat ini kacau. Apalagi ditambah berita Daffin yang melamar seorang wanita.

Flashback off

" Saya ditolak."

" Apa! Kapan? Dan alasan?" Tanya Daffin terkejut.

" Kemarin! Katanya dia belum siap nikah."

" Owh ..., belum siap bukan berarti nolak! Jadi, kamu tunggu aja sampai dia siap."

" In shaa allah! Tapi, sampai kapan? Kamu taukan, sudah berapa lama saya menunggu!"

" Saya tau. Mungkin  sekarang belum saatnya. Kamu tau, wanita yang saya sukai sekarang, wanitanya cuek, bahkan dia selalu terlihat kesal kepada saya. Jadi, kamu masih beruntung, "

" Kamu nyeselin, kali. Tapi dia udah nerima kamu'kan."

" Siapa bilang? Lupa sama saya, iya kayanya."

" Katanya kemarin pergi ngelamar. Pas saya tanya gimana, jawabnya alhamdullillah. Bukankah itu berarti tanda Syukur. Masa kamu ditolak bersyukur."

" Ditolak atau diterima saya akan selalu bersyukur. Setidaknya kalo diterima saya bakalan bahagia. Ditolak? Ya, walaupun saya ngerasa kecewa mungkin, tapi saya tetap bersyukur, mungkin allah ingin mengantinya dengan yang baik atau menundanya diwaktu yang tepat."

" Kamu ditolak?"

" Ditolak nggak juga, diterima juga nggak, sih. Intinya, saya dituntut untuk lebih berusaha."

" Sama dia, ayah atau bundanya? "

" Keadaan!"

Fahri hanya diam, wajahnya seketika datar. Walaupun ucapan Daffin masuk akal, namun terlalu banyak teka-teki. Sedari tadi ngobrol tentangnya, namun dijawab dengan teka-teki.

Sedangkan Daffin, dia memilih menyeruput airnya. Kurang peka memang, tapi itu lah Daffin. Nyebelin!

Happy reading!

The Doctor [End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang