Yang datang pas butuh akan kalah
dengan yang selalu ada.
____"Bebeb, udah selesai kuliah?"
Ini lagi satu. Belum sempat Nizar menjalankan motornya, kekasih pertamanya dengan tiba-tiba datang menghadang di depan motor. Emang resikonya jadi cowok ganteng, selalu dikelilingi oleh cewek-cewek bohay and assoy.
"Aduh, lo ngagetin tau nggak."
"Kamu pasti mau jemput aku kan? Aku udah pulang kerja kok, gak usah dijemput. Mending kita lunch bareng ajah yuk!" Ajak Dewi dengan suara manja.
Anyway, tidak semua pacar Nizar itu kuliah atau sekelas dengannya. Ada juga yang berbeda kampus, berbeda kelas, berbeda fakultas, ada yang udah kerja, ada yang masih SMA, pokoknya pacarnya itu tersebar dimana-mana, kayak warteg.
"Yaudah naik!"
Senyum sumringah menghiasi wajah Dewi. Dengan cepat Ia menaiki motor Ninja Nizar, lalu memeluk pinggang Nizar dari belakang yang membuat sang empunya risih.
Bahkan, beberapa pacar Nizar yang melihatnya geram, karena mereka tidak sempat jalan dengan Nizar hari ini.
Di tengah perjalanan, Nizar memberhentikan motornya di depan toko bunga. Tentu saja hal ini membuat Dewi merona,di fikirannya pasti pacarnya ini akan membelikannya bunga.
"Turun!"
"Kamu kok repot-repot sih mau beliin aku bunga segala." Jawab Dewi malu-malu menuruni motor.
"Mau bunga?" Tanya Nizar yang diangguki Dewi. "Yaudah beli sendiri ya." Lanjutnya, melajukan motor meninggalkan Dewi yang menggerutu sendiri.
"Ih Nizar ngeselin banget deh, malah ninggalin gue." Dengusnya menghentakkan kaki.
••••••
Akhirnya Nizar sampai di tempat yang dituju. Di taman depan SD Mawar. Benar apa kata Abay tadi, Jauza biasanya jual gorengannya disini.
"Gorengan-gorengan, ada bakwan, tahu isi, molen, tempe mendoan dan risol. Ayo-ayo dibeli, cuman 1000 rupiah." Teriak Jauza menjual dagangannya.
Nizar yang melihat itu dari kejauhan cukup kasihan. Bisa dilihat, bahkan belum ada satu orang pun yang membeli dagangannya.
Tanpa berganti pakaian, Jauza lanjut berdagang. Bahkan, dengan lembut Ia mengusap keringat yang membasahi pelipisnya. Sebagian ujung hijabnya juga basah, karena panas matahari yang sangat terik di siang hari ini.
Melihat segerombolan anak SD yang baru pulang sekolah, membuat Nizar berantusias untuk memanggilnya.
"Dek-dek, sini!"
"Ada apa kak?" Tanya segerombolan anak itu.
"Kalian mau jajan gorengan gak?"
"Mau kak, tapi uang kami udah habis."
Nizar merogoh saku celananya dan mengeluarkan 3 lembar uang 100 ribu. "Tenang, kakak traktir. Kalian borong gorengan kakak yang berkerudung itu yah. Kalau dia ngasih kembalian, gak usah diambil. Tapi, jangan bilang kalau yang nyuruh kalian itu kakak."
"Siap kak."
Anak-anak itu dengan cepat memborong dagangan Jauza, yang membuat gadis itu sumringah bahagia. "Kak, kami mau borong semua gorengan kakak."
"Alhamdulillah, tunggu yah dek, saya bungkuskan dulu." Balas Jauza sumringah dengan senyum dan wajah bahagia.
Melihat itu, juga membuat Nizar senang, akhirnya Ia bisa menuntaskan rasa bersalahnya. Sebaiknya Ia harus segera pulang, sepertinya anak-anak itu tidak bisa Ia percayai.
"Eh, dek-dek. Uang kalian kelebihan nih."
"Gapapa kak, kata kakak kami ambil ajah kembaliannya."
"Serius dek? Alhamdulillah, Emangnya, kakaknya yang mana?"
"Itu." Segerombolan anak itu menunjuk ke arah tempat Nizar berdiri tadi. Namun, untungnya Nizar sudah pergi sebelum anak-anak itu menggagalkan rencananya.
"Eh kakaknya udah pergi."
"Yaudah, bilang makasih ya sama kakaknya."
Anak-anak itu pun mengangguk dan pergi dari sana, menenteng masing-masing satu kantong gorengan.
"Alhamdulillah ya Allah, akhirnya bisa pulang cepat." Jauza menaiki sepedanya untuk pulang ke rumah.
•••••
"Astagfirullah, ibu!" Pekik Jauza kaget.
Maklum saja, Jauza baru pulang berdagang dan mendapati ibunya sudah tengkurap di dapur. Ibu Jauza mengalami kebutaan kurang lebih sekitar 3 tahun belakangan ini, semenjak kepergian suaminya. Jadi Ia cukup kesusahan jika hendak menginginkan sesuatu namun Jauza belum juga pulang.
"Ibu, sini bu, Jauza bantu." Jauza membantu ibunya berdiri, lalu memapahnya kembali ke kamar.
"Ibu buat apa di dapur?" Tanyanya khawatir. Terlihat dari raut wajah sedih yang di tampakkan Jauza.
"Tadi ibu mau ambil minum, Nak." Jawab Zahra—ibu Jauza.
"Air minum yang Jauza siapin udah abis?" Jauza memeriksa persediaan air yang selalu Ia letakkan di samping meja tempat tidur, agar ibunya mudah menjangkau. Namun, ternyata air itu tumpah.
"I—ibu tadi tidak sengaja menyenggol tempat airnya."
Sepertinya Jauza cukup kesulitan jika seperti ini. Apakah Ia harus berhenti kuliah untuk bisa menjaga ibunya? Tapi ini adalah impiannya untuk bisa menjadi seorang dokter. Namun, Ia juga kasihan jika harus meninggalkan ibunya sendiri di rumah seharian.
"Bu, bagaimana kalau Jauza berhenti kuliah aja ya bu? Biar bisa jagain ibu di rumah."
Zahra menggeleng cepat, "Jangan nak! Kamu harus tetap kuliah, Ibu gakpapa kok."
"Tapi ibu sendirian di rumah."
"Ibu bakalan tambah sedih kalo kamu berhenti kuliah, nak. Itu mimpi kamu dari dulu dan sekarang kamu sudah setengah jalan untuk mendapatkan mimpi itu. Jangan sia-siakan semua yang kamu dapatkan sekarang."
Jauza memeluk ibunya erat. Sungguh sekarang kekuatannya hanyalah ibunya. Ia masih kuat berpijak di bumi, itu semua alasannya karena ibunya.
"Makasih ibu, sudah selalu ada nyemangatin dan nguatin Jauza."
"Sama-sama sayang."
"Oiya bu, kakak gak datang?" Tanyanya yang hanya dibalas gelengan dan senyum tipis oleh ibunya.
_____
Vote dong ⬇️ jangan pelit-pelit jadi orang🐱
KAMU SEDANG MEMBACA
Zaruza ✓
General Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] "Dalam islam, pacaran itu dilarang dan haram hukumnya. Kalau perihal jodoh, itu sudah diatur oleh Allah dan tentu saya punya. Entah itu dia yang tertulis di Lauhul Mahfuz atau maut." Jauza menjelaskan panjang lebar. "Lauhu...