18|| Berubah

255 28 2
                                    

Ada yang berubah,
tapi bukan cuaca.
____

Baru kali ini sehabis jam kuliah Nizar tidak pulang. Biasanya sepulang kuliah dia selalu menyinggahi berbagai tempat, baik itu ke warungnya Mas Joko, nongkrong di basecamp, mampir ke toko furniture-nya atau langsung pulang ke rumah.

Namun, hari ini Ia lebih memilih untuk memantau dan menunggu pemilik sepeda tua yang masih terparkir dari kejauhan. Tidak sendiri, tetapi dia ditemani oleh beberapa pacarnya.

Kayak tukang sayur yang dikerumuni ibu-ibu komplek.

Setelah sekian lama, akhirnya yang ditunggu-tunggu pun datang mengendarai sepedanya dan hendak pergi. Melihat itu, secepat mungkin Nizar menyuruh pacar-pacarnya untuk pergi, lalu Ia berlari mengejar gadis bersepeda yang sudah terlampau jauh.

"JAUZA, TUNGGU!!" Pekiknya masih sambil berlari.

Sang empunya nama masih serius mengendarai sepedanya.

"JAUZA!!" Panggilnya lagi. Larinya sudah hampir menggapai sepeda Jauza.

Dipanggil berkali-kali oleh Nizar, tapi Jauza tidak berbalik sama sekali ataupun menghentikan sepedanya. Entah dia tidak mendengar atau dia lupa kalau namanya adalah Jauza, serta yang paling memungkinkan adalah Jauza sengaja tidak mendengar karena tidak mau memaafkan Nizar.

Sekuat tenaga Nizar berusaha berlari keras agar dapat melampaui laju sepeda Jauza yang lajunya cukup sedang. Ia pun berhasil menghadang sepeda Jauza dari arah depan.

Alhasil, Jauza yang kaget karena ada orang tiba-tiba dihadapannya, langsung me-rem mendadak.

"Punya otak gak sih lo? Lo nggak punya pikiran yah?" Dengus Jauza tersulut emosi.

"Pikiran gue penuh dengan lo." Ujar Nizar pelan.

"Main hadang-hadang ajah, kalau gue nabrak lo gimana? Kalau mau bunuh diri, jalan raya cukup lebar tuh. Kelindas sepeda gue gak mempan buat ngantar lo ke kuburan. Lo yang depresi, jangan bawa-bawa gue dong." Dengus Jauza marah-marah.

Nizar sedikit tak percaya, ternyata Jauza bisa marah-marah juga. "I-iya, maaf."

"Maaf-maaf!! Emang lo kira dengan maaf, lo bisa ngembaliin waktu gue yang terbuang sia-sia? Gak kan? Udah sana minggir!"

"Tunggu dulu! Gue cuman mau ngomong." Nizar menahan stir Jauza yang hendak pergi. "Gue mau minta maaf soal kemarin," ujarnya.

Jauza mengerutkan keningnya, seperti tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh Nizar.

"Gue akui, gue salah. Please, maafin gue." Ujar Nizar memohon.

Jauza semakin terlihat tidak mengerti. "Maksud lo apasih? Kenal ajah, enggak."

Nizar semakin dibuat tak percaya jika Jauza akan seperti ini. Nizar memahami kekecewaan Jauza terhadapnya, tapi kali ini Jauza sungguh berbeda. Bahkan, Jauza berpura-pura tidak mengenalinya.

"Itu masalah kemarin yang waktu lo hampir jatuh di bangku. Gue maklum kalau lo kecewa ke gue. Gue terima kalau lo marah sama gue, atau lo mau mukul gue, gapapa. Yang penting maafin gue." Pinta Nizar dengan memohon.

"Apasih ga jelas banget. Ingat yah, gue gak kenal sama lo dan gue gak paham apa yang lo bicarain. Minggir! Buang-buang waktu gue aja." Jauza terlihat sinis, meninggalkan Nizar yang diam seribu bahasa.

Nizar mematung tak percaya dengan apa yang Ia lihat. Jauza sangat berbeda. Namun matanya belum buta untuk mengenali bahwa itu benar-benar memang Jauza.

Jangankan tawa, senyum saja tidak ada. Jauza tak sedikitpun menampakkan senyum yang sering Ia tampakkan jika berbicara. Itu yang semakin membuat Nizar bersedih.

••••

Memandangi langit malam di halaman rumah sepertinya cocok untuk sejenak melupakan semua hal yang berkaitan dengan Jauza.

"Gak baik melamun malam-malam nanti kesurupan."

Nizar mendongak ke sumber suara dan mendapati Abay yang baru saja datang ke rumahnya.

"Lama-lama lo hampir kayak masalah, selalu ajah datang." Ujarnya masih sambil tiduran diatas ayunan panjangnya.

Abay hanya bisa nyengir dibuatnya. "Lo kenapa sih? Pasti perihal Jauza lagi?" Tebaknya. "Udah deh lupain Jauza. Gue rasa lo dan Jauza emang gak cocok," saran Abay.

"Bukan soal itu!" Nizar bangkit dari tidurnya. "Bay, tadi siang gue minta maaf ke Jauza. Namun anehnya Jauza itu berubah." Ungkapnya yang membuat Abay berkerut.

"Berubah gimana, maksud lo?"

"Iya, berubah 180 derajat. Dia seperti lupa persoalan kemarin yang mengharuskan gue minta maaf ke dia. Dan yang bikin gue sedih adalah dia pura-pura gak kenal sama gue, Bay." Jelasnya.

"Masa sih Jauza gitu?"

"Lo gak nyangka kan? Apalagi gue yang liat secara langsung. Dia itu beda banget, suka marah-marah, sinis, jutek, terus dia yang biasanya pakai embel-embel SAYA KAMU, berubah jadi LO GUE."

"Terus, sorot matanya itu beda banget, tajam kayak silet yang baru dibeli. Gak ada tawa apalagi senyum yang biasa dia tampakkan, pokoknya kayak bukan Jauza yang gue kenal selama ini." Terang Nizar sembari membayangkan kejadian tadi siang.

"Lo baru kenal dia, Zar. Mungkin ajah, Jauza emang gitu kalau marah."

Nizar menarik nafas. "Lo ingat gak waktu gue selalu ngejar-ngejar tukang gorengan karena udah berani nyebabin ketoprak gue jatuh?" Tanyanya yang membuat Abay mengangguk. "Nah, Jauza yang waktu itu sama dengan Jauza yang gue liat tadi siang. Waktu itu, dia yang nyerempet gue dan bukannya minta maaf, dia malah ngata-ngatain gue."

Abay meletakkan telunjuknya di dagu. "Kalau gue pikir-pikir, sebenarnya Jauza gak salah bersikap gitu ke elo. Soalnya lo kan yang salah, wajar aja kalau dia masih marah sama lo."

"Iya gue ngerti, gue yang salah. Itukan karena gue gak tahu. Karna gue biasanya megang cewek-cewek, tapi semuanya gak ada yang marah."

"Ya jelas bedalah ogeb!" Abay menjitak kepala Nizar. "Jauza dan cewek-cewek yang lo maksud itu beda. Makanya perdalam ilmu agama sana! Bisanya cuman main perempuan ajah," Abay geram sendiri dengan Nizar.

"Tapi sumpah, Jauza itu beda banget."

"Udah lupain soal itu! Karena besok adalah hari yang sangat istimewa."

"Ganti oli. Udah gue bilang, gue inget." Nizar berjalan memasuki rumahnya.

Karena sedikit seram, Abay juga berlari masuk mengikuti langkah Nizar. "Maksud gue bukan ganti oli, Zar." Cebik Abay berusaha mengingatkan tentang hari spesialnya.

_____

TBC

(づ ̄ ³ ̄)づ don't forget to Vomment 💅

Zaruza ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang