42|| Permintaan

173 23 4
                                    

Kamu menyuruhku menunggu, lantas apakah kamu bisa menjamin apakah aku bisa mendapatkan apa yang aku tunggu itu?
______

TOK TOK TOK

"Assalamu'alaikum," salam Nizar sembari mengetuk pintu kontrakan Jauza berulang kali.

Faza yang kebetulan sedang ada di rumah, mengintip di jendela terlebih dahulu untuk memastikan siapa yang bertamu siang-siang begini.

"Siapa Faza?" Tanya Jauza keluar dari kamarnya.

"Siapa lagi, udah sana bukain!"

Jauza tidak mengerti siapa yang dimaksud oleh saudara kembarnya itu. Dengan cepat Jauza membuka pintu agar ketukan dan salam yang berulang kali itu terhenti.

"Kak Nizar? Silahkan duduk kak!"

Nizar menurut dan duduk di kursi depan.

"Kak Nizar tunggu sebentar, saya mau buatin minum dulu."

"Gak usah Jauza! Gue ke sini cuman mau ngomong," tolaknya dengan halus.

Jauza mengerutkan alisnya. "Mau ngomong apa ya kak?"

"Minggu depan gue bakal ke Amerika, gue akan lanjut kuliah di sana." Ungkapnya.

"Wah hebat kak, selamat yah!"

"Gue boleh minta sesuatu gak sebelum gue pergi?"

"Minta apa kak?"

"Boleh nggak kalau gue minta lo nunggu gue selama  5 tahun ke depan?" Nizar melihat wajah bingung yang ditampakkan oleh Jauza. "I-iya, gue tau, gue lancang karena walaupun selama ini gue confess feeling ke lo dan lo tidak membalasnya, tapi dengan mudahnya gue nyuruh lo buat nungguin gu—"

"Saya bakal nungguin kakak." Entah dorongan dari mana, mulut Jauza tiba-tiba mengucapkan hal demikian.

Nizar bahkan tak bisa berkata-kata dengan apa yang baru saja di dengarnya. Jadi secara tidak langsung, Jauza telah membalas perasaannya.

"Se-serius?" Dengan ragu-ragu Jauza pun mengangguk. Senyum sumringah menghiasi bibir Nizar saat ini. Setidaknya Ia tahu bahwa cintanya tak bertepuk sebelah tangan.

"Makasih, Jauza."

"Apakah saya pasti akan mendapatkan apa yang saya tunggu?"

"Of course! Namun, jika dalam usaha menunggu gue ada yang datang dan orangnya baik hendak melamar dan ibu lo setuju, maka terimalah." Tutur Nizar serius.

"Apapun akhirnya nanti, senang bisa mengenal lo. Dan gue akan berusaha sebisa mungkin agar tidak keduluan dengan siapapun itu."

Jauza hanya bisa tersenyum manis. Ia tak tahu lagi harus menjawab dan berekspresi apa.

"Gue pergi dulu yah! Selama gue di Amerika, terserah lo mau ngapain. Kalaupun pada akhirnya kita tidak ditakdirkan bersama, nanti lo bakal dapet kabar dari anak lo yang bilang, 'Mah! CEO muda itu ganteng ya?'" Canda Nizar diikuti dengan sedikit senyum yang menampakkan kegembiraannya saat ini.

"Gue juga akan berusaha untuk terus berubah menjadi versi terbaik di sana."

"Ingat! Kalau ada apa-apa cerita yah!" Nizar menatap Jauza lekat, yang membuat Jauza menunduk malu. "Gue pulang dulu! Assalamu'alaikum," pamitnya.

"Waalaikumsalam."

"Sekali lagi, janji lo bakal nungguin gue! Gue juga gak bakalan mampu jika harus lama menahan rindu. Walaupun nanti gue harus bertarung dengan jodoh lo, biarlah do'a yang melangit sebagai pembuktiannya."

Jauza hanya mengangguk mengiyakan. Ia menatap kepergian Nizar yang terlihat sangat sumringah. Apakah benar Nizar sangat mencintainya?

Ia termenung mengingat perkataan Abay yang menemuinya di mesjid, subuh tadi.

"Za, boleh gue minta tolong? Nizar akan ke Amerika melanjutkan studinya. Gue harap jika dia menemui lo dan meminta sesuatu ke lo, lo bisa nurutin dia. Karena, itu bisa membuatnya semangat menjalani kuliahnya di sana." Ucapan Abay ini masih bisa terdengar jelas oleh Jauza.

Ia kira Nizar akan meminta seuatu seperti barang atau benda dan hal lainnya, tetapi ternyata ini yang Nizar minta. Menunggu, apakah dia bisa menepati itu? Kedepannya dia tidak tahu akan terjadi apa kepada dirinya dan juga Nizar.

Jika itu perihal menjaga hati, mungkin bisa Ia lakukan. Namun, jika perihal menjaga nyawa, umur tidak ada yang tahu. Panjang pendeknya usia adalah rahasia ilahi.

"Seyakin itu lo mau menunggu? Lo yakin semuanya gak bakal sia-sia?" Ujar Faza tiba-tiba memecah lamunan Jauza. Jadi, sejak tadi Faza telah mengintip dan menguping pembicaraan Jauza dan Nizar.

Jauza diam, memilih tidak menggubris ucapan saudara kembarnya itu.

"Lo jangan bego! Apakah memang benar selama itu kalian saling menunggu atau cuman lo doang?"

"Seharusnya lo juga berfikir, di sana Nizar akan bertemu banyak cewek, yang cantik-cantik dari berbagai kalangan dan negara. Apa lo bisa menjamin, Nizar masih tetap milih lo jika dia didatangkan seorang perempuan yang lebih dari lo?" Mulut Faza berbusa-busa menasehati Jauza atas keputusan yang diambilnya.

"Saya akan mengikut dan menerima jalan takdir." Balasnya, kemudian berlalu meninggalkan Faza yang sudah berkomat-kamit tidak jelas.

"Emang dasar tuh anak gak bisa dibilangin, ngeyel!"

••••••

"Ma, Pa, Nizar pamit dulu! Jaga kesehatan dan diri kalian di sini." Nizar menyalimi dan memeluk kedua orangtuamya dengan sendu.

"Kamu juga, Nak!"

"Omah, Nizar pamit. Omah harus jaga kesehatan juga yah!"

"Pasti sayang. Kalau kamu di sana, jangan lupa untuk sering-sering kabarin Omah."

"Iya Omahku tersayang."

"Kak Najwa, jangan bandel-bandel! Susunya harus rajin di minum. Kasihan nanti ponakan gue di perut lo. Harus selalu jaga kesehatan!" Nizar memeluk erat kakaknya yang sudah mewek, tak lupa Ia mengelus-elus perut kakaknya yang masih tak berbentuk itu.

"Iya bawel."

"Bang Ikhsan, gue percayain keluarga gue ke lo. Jagain kakak gue, bokap dan nyokap. Lo juga harus jaga kesehatan, jangan sering begadang!" Nizar merangkul kakak iparnya itu, begitupun sebaliknya.

"Pasti, Zar."

Terakhir, dia menemui Abay yang sudah menunduk karena tak kuasa membiarkan sahabatnya pergi.

"Bay, gue tau lo sedih, tapi gak usah sejelek ini napa!" Nizar menepuk pundak sahabatnya dengan sedikit candaan. "Satu pesan gue, jagain Jauza buat gue."

"Pasti, Zar. Tapi, sayang banget Jauza gak hadir hari ini."

"Baguslah! Kalau gue liat dia, kaki gue malah berat buat melangkah ninggalin dia."

Abay tersenyum mendengar ucapan sahabatnya itu.

"Lo nggak sedih ninggalin Jauza?"

"Untuk apa? Kita masih ada di pijakan bumi yang sama. Lagian Jauza sudah berjanji untuk setia nunggu gue sampai balik."

Mendengar hal itu, Abay tersenyum sumringah. Ternyata, Jauza melakukan semua permohonan darinya. Sebab itu, Nizar dengan penuh keyakinan untuk bisa pergi ke Amerika.

"Pesawatnya udah mau take off, Nizar pergi dulu! Assalamu'alaikum, semua!" Pamitnya, melambaikan tangan sambil berjalan menjauh.

"Waalaikumsalam, hati-hati!"

"Take care!"

"Kalau udah sampai jangan lupa kabarin!"

Nizar membalas teriakan semuanya dengan acungan kedua jempolnya. Sampai di atas pesawat pun Ia masih menyempatkan untuk melambaikan tangan di jendela pesawat.

Entah mengapa, mendengar jawaban Jauza atas permintaannya membuatnya tenang untuk pergi. Entahlah, itu seperti vitamin penyemangat baginya agar bisa melalui semuanya dan bisa pulang secepat mungkin.

_______

VOTE + COMMENT

Zaruza ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang