35|| Putus Massal

170 21 5
                                    

Bukan tidak menerima takdir hidup,
Hanya saja aku rindu.
______

"Assalamu'alaikum, kakek." Salam Nizar memegangi nisan kakeknya. Nisan yang bertuliskan nama kakeknya yang meninggal 15 tahun yang lalu.

"Kakek jangan marah yah, karena Nizar baru bisa ngunjungin kakek hari ini." Ujarnya membersihkan beberapa daun yang ada di sekitar makam kakeknya. "Nizar do'ain semoga kakek ditempatkan di surganya Allah."  Lanjutnya, menyiramkan air dan menaburkan bunga.

"Kakek tau tidak, setelah sekian lama Nizar hidup tanpa arah, akhirnya ada seseorang yang berhasil menunjukkan tujuan dimana sebenarnya Nizar harus berpijak." Nizar senyum-senyum sendiri menceritakannya. "Namanya Jauza,  cantik dan sholehah. Nizar yakin, kakek juga pasti suka dengannya." Lanjutnya.

"Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Nizar ceritain ke kakek. Nizar akan sering-sering ke sini, kek. Nizar pergi dulu, Assalamualaikum." Pamitnya melangkah pergi.

Dari kejauhan, matanya menangkap sosok tak asing di penglihatannya. Nizar semakin mendekat ke arah orang yang tengah duduk di samping sebuah makam yang masih belum di renovasi itu.

"Ayah, Jauza kangen." Lirihnya menabur bunga ke atas pusara ayahnya.

"Sampai saat ini Jauza masih ngerasa kalau ayah masih ada. Bukan tidak menerima takdir, hanya saja Jauza rindu ayah." Isaknya mengusap-usap nisan ayahnya.

Dari langkah yang semakin mendekat, Nizar mendengar semua keluh kesah dari Jauza. Nizar juga tidak menyangka jika makam kakek dan ayah Jauza itu sekompleks.

"Ayah yang sabar yah! Sekarang Jauza masih mengumpulkan uang untuk merenovasi makam ayah."

"Tau nggak sih, ayah. Jauza sangat kesulitan untuk melangkah melanjutkan hidup, jika bukan ibu yang nyemangatin Jauza. Kadang Jauza suka mikir, kira-kira Allah mau ngasih surprise apa sih nanti, sampe prosesnya seberat ini."

"Ayah tenang saja, ibu sehat-sehat kok. Oiya, kenapa sih ayah lebih memilih kematian dari sekian banyaknya cara untuk pergi? Andai bisa, biar Jauza yang gantiin ayah." Lirihnya mengusap air matanya. Namun, seseorang dengan tepat di depan wajahnya menyodorkannya sapu tangan.

Jauza menerima sapu tangan tersebut, lalu mendongak dan mendapati Nizar sudah berdiri di sampingnya. "Tau nggak sih Jauza, jika anak kehilangan orangtua itu ada sebutannya. Ada yang disebut piatu dan yatim. Tetapi, jika orangtua yang kehilangan anaknya itu gak ada sebutannya. Karena memang sesakit itu sampai gak ada satupun sebutan yang cocok untuk menggambarkan rasa sakitnya."

"Maka dari itu, ayah lo nggak mau merasakan sakit itu sampai beliau lebih memilih pergi lebih dulu." Lanjutnya.

Jauza termenung, karena baru kali ini Ia mendengar kalimat bijak keluar dari mulut Nizar.

Mereka berdua kini berjalan keluar dari komplek pemakaman. Di luar pemakaman ada banyak anak-anak yang meminta-minta untuk diberikan belas kasihan.

Nizar melihat Jauza memberikan beberapa uangnya kepada anak-anak tersebut.

"Bukannya lo lagi ngumpulin uang buat renovasi makam bokap lo? Sorry, gue denger tadi."

"Saya mengerti bagaimana rasanya ketika tidak punya. Saya duluan, Kak Assalamu'alaikum ...." Pamitnya melangkah pergi.

"Waalaikumsalam, Jauza!" Panggil Nizar menghentikan langkah Jauza. "Kalau ada apa-apa, cerita yah!" Lanjutnya. Jauza mengayuh sepedanya pergi.

•••••

"Bay, tolong pijitin leher gue dong, pegel nih! Kayaknya semalam gue tidur salah bantal deh." Pinta Nizar mengurut lehernya.

"Emang dasar yah, manusia memang makhluk maha benar dan susah nyalahin diri sendiri, lehernya yang pegel malah nyalahin bantal. Pengen heran, tapi namanya juga manusia." Cerocos Abay memijit leher Nizar.

Zaruza ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang