Jangan pernah sedikitpun ada niat dalam hatimu untuk ninggalin aku, karena aku tidak bisa menerimanya.
_______BRAAKKK!!!
Abay mendobrak pintu sebuah rumah bernuansa cream itu. Pemilik rumah yang tengah berada di dalam pun terkejut, mendapati suara keributan yang berada di rumahnya.
"Maksud lo apa datang-datang langsung dobrak-dobrak pintu rumah gue?! Lo gak tau caranya ngetok pintu dan mencet bel?" Dengus pemilik rumah.
Bukannya merasa bersalah, Abay malah menarik kerah baju sang pemilik rumah. "GAK USAH BANYAK BACOT!! LO TAU ALASAN GUE KE SINI BUAT APA!"
"Maksud lo?" Pria itu bingung dengan maksud dari ucapan Abay. Ia juga berusaha untuk melepaskan cekalan Abay dari kerah bajunya.
"Lo yang ud—" ucapannya terpotong karena ponselnya berdering dan dia terpaksa harus mengangkatnya. Entah apa yang diucapkan seseorang dari seberang sambungan telfon itu, tapi bisa dilihat raut wajah Abay yang sebelumnya marah kini berubah jadi kesedihan. "Iya, aku ke sana sekarang."
"Mau lo apa swih he—," karena malas dengan bacotan pria yang membuat amarahnya memuncak. Abay menyumpal hidung pria tersebut menggunakan sapu tangan yang sudah dia kasih obat bius sebelumnya.
"LO NGGAK BISA KABUR DARI GUE!!" Abay mengikat kedua tangan pria tersebut, lalu mendorongnya masuk ke dalam mobilnya. Ia membawa pria yang memang tengah tinggal sendiri itu, ke basecamp-nya yang sejak dulu sampai sekarang masih ada.
"Urus dia! Lakuin apapun yang kalian mau, asal jangan sampai nyawanya hilang. Karena urusan gue, belum selesai sama dia." Perintah Abay yang diangguki semua yang ada di dalam basecamp tersebut.
"Siap, Bay."
•••••
Hampir sejam mengalami pingsan, membuat kepala Jauza sedikit pening. Perlahan Ia membuka matanya yang awalnya samar-samar, kemudian terlihat jelas. Dari kejauhan, Ia melihat sang anak yang di letakkan di sebuah kotak dengan dinding kaca bening. Saat melihat ke samping, Ia melihat ibu dan kakaknya yang sedang menangis.
"Ibu, Kakak, ka-kalian kenapa nangis?" Tanyanya lesu. Mereka berdua tidak tega jika harus memberitahukan semuanya kepada Jauza. Apalagi dalam keadaan lemah seperti ini.
"Mas Nizar bagaimana?" Lanjutnya, "Mas Nizar sudah sadar kan?" Tanyanya lagi. Namun mendapat gelengan berat dari sang kembaran.
"Mas Nizar kenapa?"
"Ni-Nizar udah gak ada, Jauza." Lidah Faza dengan kelu mengatakannya. Ia tak sanggup menatap wajah adiknya saat ini. "Nggak!!! Nggak mungkin!!" Dengan cepat, Jauza melepaskan infus yang ada di tangannya. Kemudian berlari sekuat tenaga ke dalam ruangan sang suami. Faza dan Zahrah sudah berusaha menghentikannya, namun entah kenapa tenaga Jauza sangat kuat saat ini.
Tanpa alas kaki, Ia tak memperdulikan rasa sakit yang dialaminya selepas melahirkan. Penampilan acak-acakan, namun masih tetap mengenakan hijabnya. Sekuat tenaga Ia berlari, karena tujuannya saat ini adalah menghampiri suaminya.
Saat di depan ruangan sang suami, Ia melihat keluarga besar dari Nizar menangis. Najwa dan Naya menatap kasihan ke arah Jauza yang juga menatapnya kosong. Dengan gemetar Jauza membuka pintu ruangan tersebut. Ia belum melangkah masuk, dari kejauhan Ia melihat dengan tatapan hampa sang suaminya yang terbaring lemas tak berdaya dengan perawat yang telah melepaskan beberapa selang yang ada di badan Nizar.
"Omah sudah bilang, perempuan itu gak baik buat Nizar. Dia pembawa sial." Sahut Omah pada Najwa yang baru saja datang dengan perasaan sedih dan kesalnya. "Omah bisa gak sih kalo ngomong itu dijaga! Gak liat kondisi," geram Najwa menghampiri Naya yang sudah sesenggukan di pelukan Naldi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Zaruza ✓
Narrativa generale[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] "Dalam islam, pacaran itu dilarang dan haram hukumnya. Kalau perihal jodoh, itu sudah diatur oleh Allah dan tentu saya punya. Entah itu dia yang tertulis di Lauhul Mahfuz atau maut." Jauza menjelaskan panjang lebar. "Lauhu...