Bukan seberapa lama aku di sana,
Tapi tentang seberapa sabar kamu
menungguku sampai sekarang.
_______[5 TAHUN KEMUDIAN]
Waktu dan bumi terus berputar. Siang dan juga malam terus tergantikan cerah dan gelapnya. Jam dan detik pun tak berhenti bergerak dari acuannya.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepatnya. Sudah 5 tahun berlalu, ada banyak hal yang telah berubah. Ada banyak hal yang awalnya tidak mungkin terjadi namun ternyata itu dapat terjadi.
Namun meskipun begitu, semua masih tetap menjalani hidup seperti semestinya.
Kaki jenjang nan panjang dengan setelan jas yang rapi, melangkah mendorong koper keluar dari arah bandara. Ia berhenti dan perlahan menghirup udara yang sudah sejak lama Ia rindukan. Ia membuka kacamata dan terpampanglah wajah yang masih seperti yang dulu, tetap tampan. Hanya saja, saat ini wajahnya ditumbuhi brewok dan kumis tipis yang membuatnya semakin dan tambah tampan dan memesona.
Saat hendak melanjutkan jalannya, tiba-tiba ada seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar 2 tahun menabrak kakinya.
Ia membuka kacamatanya, kemudian berjongkok untuk memastikan anak itu baik-baik saja.
"Kok sendirian ajah? Orangtuanya mana ganteng?" Ia mengusap pipi anak itu dengan lembut. Ia sangat iba melihat raut wajah haru yang diperlihatkan oleh anak itu. Bagaimana tidak, anak itu terlepas dari orangtuanya di tengah keramaian seperti ini.
Dengan cepat Ia sigap menggendong anak itu, sambil berusaha melihat sekeliling untuk memastikan siapa orangtua dari anak itu.
Saat hendak menghampiri bagian informasi dan keamanan, ayah dari anak itu datang dengan raut wajah khawatir dan tergesa-gesa.
"Maaf yah, Pak. Anak saya baru belajar jalan, dan hilang pengawasan saat kami hendak mengambil koper." Ujar bapak dari anak itu.
Suara itu tidak asing baginya. Seketika, Ia membalikkan badannya, dan ternyata benar itu adalah sahabatnya.
"NIZAR?!"
"ABAY!?"
"Apa kabar bro? Lo balik ke Indonesia kok gak ngabarin sih?" Abay speechless melihat perubahan sahabatnya yang begitu glow up.
"Alhamdulillah masih bernafas. Jangankan Lo, irang rumah ajah gak gue kabarin. Sengaja, mau buat surprise. Buktinya, sekarang lo kaget kan liat gue. Kebetulan banget kita ketemu di sini." Balasnya sembari tertawa renyah.
"Iyya nih, gue habis liburan ama keluarga kecil gue."
Nizar mengangguk-angguk. "Widih asik yah," balasnya. "Btw, ini anak lo?" Nizar menyerahkan anak tersebut kepada ayahnya.
"Iyya, gimana cakep gak hasil cetakan gue?" Celetuk Abay mencium pipi anaknya yang gembul itu.
"Iyya cakep, tapi gak mirip lo. Pasti dia ngikut mamanya." Kekeh Nizar tertawa geli melihat raut wajah cemberut dari sahabatnya itu. "Anyway, istri lo mana? Waktu itu lo cuman bilang mau nikah, ke gue. Tapi lo gak ngasih tau calonnya siapa," lanjutnya.
"Dia lagi ngurusin koper, bentar lagi dia ke sini kok."
"Sayang, lama yah nunggunya?" Seorang perempuan berhijab menghampiri mereka mendorong satu koper berwarna navy.
"Ini istri gue."
Melihat wajah perempuan itu, raut wajah Nizar tidak bisa dideskripsikan lagi, antara sedih, kecewa, kaget, marah, pokoknya campur aduk menjadi satu.
"Gak nyangka gue, Bay. Gue minta lo buat jaga Jauza, tapi ternyata lo ...." Nizar berhenti sejenak. "Selamat yah, bro." Lanjutnya menepuk pundak Abay, lalu hendak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zaruza ✓
Fiction générale[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] "Dalam islam, pacaran itu dilarang dan haram hukumnya. Kalau perihal jodoh, itu sudah diatur oleh Allah dan tentu saya punya. Entah itu dia yang tertulis di Lauhul Mahfuz atau maut." Jauza menjelaskan panjang lebar. "Lauhu...