7 • pacar Aerika juga pemilik benang biru.

202 48 85
                                    

"Zal? Kenapa sih, mukamu begitu? Kayak orang kurang tidur."

Aku menguap lebar, memilih mengabaikan ocehan Aerika yang enggak berhenti mengomentari wajahku. Soalnya, kata-katanya benar. Aku memang enggak tidur semalaman gara-gara memikirkan ucapan Zaina.

Memang, anak satu itu! Sengaja banget bikin aku enggak tidur. Mana pas bangun tidur tadi dia cekikikan lihat kantung mataku yang makin menghitam.

"Eh, Zal, kamu tahu enggak-"

"Enggak," jawabku cepat, malas meladeni Aerika.

Aerika tiba-tiba meninju bahu kiriku agak keras. Aku melotot. Tapi dia balas menatap tajam dengan ekspresi kesal.

"Hari ini kamu nyebelin!"

"Ya, maaf."

"Kamu lagi PMS, ya?"

"Kamu kali itu."

"Kok bete banget?"

"Jam keempat ada ulangan Matematika."

"Sialan! Yang benar?!" Aerika memekik sambil mengguncang-guncangkan bahuku. "Duh, gimana nih, Zal? Aku belum belajar lagi!"

"Tenang, aku juga belum belajar."

Aku menyengir. Sebenarnya itu alibiku. Kalau ada Zai dia pasti bilang, 'pintar amat ngelesnya'. Tapi tentang ulangan Matematika itu benar. Aku juga baru ingat saat mengatakannya.

"Karena itu, ayo kita ke kantin," lanjutku, membentuk ibu jari dan telunjuk sebuah bulatan.

Aerika menyeringai. "Ayo! Tapi traktir bakso Mang Rizal!"

"Gas."

Kami pun akhirnya ke kantin, untuk nongkrong tentu saja. Kantin lebih ramai dari biasanya. Sebagian wajah-wajah yang kukenal berasal dari kelasku.

Sip, berarti kami enggak bolos sendiri.

"Mang! Bakso dua, ya! Yang satu bakso halus saja, enggak pake sambel!" pesanku sebelum melepas sepatu dan duduk lesehan di lantai (konsep kantin sekolahku cukup unik. Seperti makan di rumah tradisional Jepang).

"Siap, Neng!" balas Mang Rizal semangat.

Aku mengalihkan pandangan pada Aerika yang duduk berhadapan denganku. Temanku itu tumben sekali mengurai rambut panjangnya yang dicat cokelat kemerahan. Biasanya rambutnya dikucir kuda atau disanggul. Poninya yang agak panjang menutupi sebagian wajah-oh, sebentar ....

Kenapa aku baru sadar? Ada perban yang menempel di kening sebelah kanannya. Sepertinya kemarin-kemarin enggak ada. Dan lagi, tumben juga Aerika memakai sweter. Aku hampir enggak pernah melihatnya memakai sweter. Bahkan enggak pernah, tuh?

"Eh, Zal. Kenapa?"

Aku tersentak. Bersamaan dengan pertanyaannya, dua mangkok bakso dihidangkan di meja kami.

"Makasih, Mang!" ucap Aerika, lalu memakan bakso miliknya dengan lahap, sementara aku masih fokus memerhatikan perban di kepala Aerika.

"Kamu ini kenapa, sih? Dari tadi lihatin aku terus."

"Oh? Enggak, enggak apa-apa." Aku menggeleng, kemudian memasukkan sesuap bakso ke mulut.

"Jujur deh, Zal. Hari ini kamu aneh. Mulai dari kantung mata itu, lalu lihatin kepalaku terus," ujar Aerika yang entah sejak kapan sudah menandaskan satu mangkok bakso. Dia mengelap mulutnya dengan tisu sambil terus menatapku.

"Lagi ada masalah? Cerita saja. Kita, kan, teman."

Aku tercenung, berpikir. Teman, ya?

"Rik, kamu ... percaya enggak soal rumor benang merah takdir?"

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang