29 • kecurigaan Lux dan Lian akan pengkhianat.

76 16 67
                                    

"Kak Rayhan."

Panggilan dengan suara pelan dan serak membuat lelaki berjas putih yang sedang meracik obat terlonjak. Beruntung gelas kaca yang semula digenggamnya sempat ia tangkap sebelum terjatuh ke lantai dan pecah.

Rayhan mengembuskan napas lega, lantas menghampiri anak laki-laki yang tengah berbaring di ranjang salah satu kamar di markas.

"Lux? Kamu sudah bangun?" Rayhan bertanya dengan nada lembut yang amat menenangkan.

Ah, Lux yang semula ingin menjawab, malah jadi ingin memejamkan matanya lagi.

"Eh, kamu mau tidur lagi? Apa badanmu masih sakit?" Nada panik dalam kata-kata Rayhan terdengar jelas sampai-sampai Lux tidak sadar ia tertawa tanpa suara.

Kepanikan Rayhan seketika sirna dan digantikan senyum tipis melihat Lux yang sudah bisa tertawa.

"Aku baik-baik saja, Kak Reyhan," kata Lux lirih.

"Tidurmu nyenyak?" tanya Rayhan seraya mengusap-usap kepala Lux.

Lux hanya mengangguk kecil. Ia masih belum bisa bersuara keras atau mengeluarkan tenaga untuk banyak bergerak.

"Syukurlah."

"Kak ... yang lain ada di mana? Terus, apa Kak Lian udah sadar?"

"Nona Fae, Nona Abby, dan Chika lagi enggak ada di markas. Tuan Muda Lian sudah sadar dari kemarin kok, Lux. Sekarang dia lagi membicarakan sesuatu yang penting dengan Tuan Muda Andre," jelas Rayhan.

Lux memejam dengan senyum kecil menghiasi wajahnya yang semula datar. "Ah, syukurlah ... Jadi, Kak Lian sudah sadar, ya? Syukurlah, Tuhan ...."

"Mengejutkan ya, Lux? Enggak ada yang berekspektasi Tuan Muda Lian bakal sadar secepat itu. Biasanya penggunaan kekuatan ruang memakan waktu minimal sebulan untuk sadar, tapi kemarin adalah hal yang luar biasa, 'kan?" Rayhan mengutarakan keheranannya. Meski begitu, ia menangis bahagia.

"Enggak ada yang enggak mungkin, Kak. Karena itu adalah Kak Lian. Kak Lian itu kuat, Kak Reyhan enggak perlu khawatir." Tangan kanan Lux yang gemetaran mencoba untuk menyentuh punggung tangan Rayhan.

"Kamu benar, Lux." Rayhan mengacak-acak rambut Lux gemas.

Lelaki tiga belas tahun itu terlihat ingin memprotes, tetapi urung karena teringat dengan dua orang yang belum ia temui.

"Oh, iya, Kak. Gimana dengan Master Emil dan Zaline? Apa mereka baik-baik saja?"

Air muka Rayhan seketika berubah. Dibilang sedih juga tidak, tetapi dibilang bahagia juga tidak. Lux tidak mengerti maksud raut pria itu.

"Zaline baik-baik saja. Ia sudah kembali ke rumahnya setelah diselamatkan oleh Nona Abby. Sedangkan Master Emil ... beliau masih berada di markas Onyx. Carlito bilang beliau disandera."

Lux menggertakkan gigi. Satu tangannya yang semula menyentuh punggung tangan Reyhan kini terkepal.

"Lux, sudahlah. Saya yakin Master Emil pasti baik-baik saja. Ketua kita enggak selemah itu, lho." Rayhan mengelus-elus tangan Lux untuk menenangkannya.

"Aku tahu, Kak. Tapi tetap saja! Kekuatan Master Emil hanya membangkitkan kemampuan para taksa! Beliau enggak bisa bertarung! Apalagi b*jing*n Onyx bisa saja memanfaatkannya, kan?!" Dada Lux kembang kempis.

Meski Rayhan tahu jikalau taksa termuda di markas ini cukup temperamental, tetapi ia tetap terkejut karena tidak seharusnya anak semuda Lux mengumpat sekasar itu.

Rayhan kembali mengelus-ngelus kepala Lux. "Lux, tenanglah, oke? Dengarkan saya dulu."

Lux menurut. Kelopak matanya memejam. Ia mencoba mengatur napas.

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang