33 • rahasia yang akhirnya terkuak.

74 14 66
                                    

"Zaline, surat apa itu?" tanya Mama yang baru pulang dari pasar sembari menutup gerbang.

"Oh, ini, Ma ...." Suaraku tercekat, seakan ragu untuk mengatakan yang sebenarnya pada Mama.

Tanpa menunggu jawabanku, Mama merampas surat itu dan membacanya. Hanya butuh hitungan detik sampai Mama menganga dan menjatuhkan dua keresek belanjaan ke lantai.

"... Ian?" Meski Mama berucap lirih, tapi bisikan yang amat pelan itu masih bisa kudengar.

Aku yakin sekali wajahku terlihat kebingungan. Begitu juga Zaina yang berdiri di sebelahku. Kami saling pandang sekilas sebelum Zaina melontarkan pertanyaan.

"Ma ... tolong katakan pada kami. Sebenarnya, apa Papa masih hidup?"

Mama enggak langsung menjawab, hanya diam dengan kepala menunduk. Awalnya aku enggak sadar, kalau Mama meneteskan air mata. Sampai Mama mulai terisak, barulah aku dan Zaina menyadarinya. Pertanyaan Zaina kayaknya benar-benar membuat Mama merasa terpukul.

"Nak ...," bisik Mama. Sekarang Mama sudah mengangkat wajahnya untuk menatap kami. "Pertama-tama, maafkan Mama karena sudah merahasiakan ini dari kalian. Mama pikir, kalian enggak perlu tahu dan ikut campur dengan dunia taksa. Tapi kelihatannya, kalian sendiri juga terlibat, seperti Papa kalian, ya? Terutama Zaline ...."

Aku mulai merasakan hawa enggak enak soal apa yang mau Mama omongin.

"Duduk, Zai, Zal." Mama menuntun kami duduk di kursi halaman. Setelah menaruh barang belanjaan di sebelah kiri kursi yang diduduki Mama, Mama mulai bercerita.

"Dulu, Papa kalian terlibat dengan taksa karena Papa sendiri juga seorang taksa. Berbeda dengan Mama dan Zaina yang bisa melihat benang merah takdir, kemampuan Zaline sebenarnya mirip Papa. Papa seorang detektor yang dapat melihat benang biru dan mendeteksi keberadaan taksa. Dan kemampuan itulah yang membuat Papa diincar banyak taksa dan organisasi hingga enggak lama setelah Zai lahir, Papa tewas di tangan mereka." Mama menjeda ceritanya. Tangisnya berhenti setelah Zaina memeluk Mama.

Beberapa saat kemudian, Zaina melepas pelukannya. Mama yang sudah selesai terisak mengelap air matanya dengan lengan baju. Kemudian, Mama melanjutkan, "Zal, Zai ... Papa memang sudah dikatakan tiada. Tapi bagi Mama, yang Mama yakini ialah, Papa masih hidup di luar sana. Zaina juga lihat, kan? Benang merah Mama belum terputus."

Zaina mengangguk mengiakan.

Jadi inilah maksud perkataan Zaina kemarin soal benang merah Mama yang masih terhubung.

"Tapi, Ma ... dari Mama tahu kalau Zal bisa melihat benang biru?" Aku tiba-tiba kepikiran.

"Dari Fatikha. Dia menceritakan semuanya kepada Mama, termasuk soal dua anggota Onyx yang menyamar untuk menculik Zal dan Zal yang terluka karena keponakan Mama sekaligus sepupu Zal sendiri, Ahn Donhee."

Jadi, pendengaranku kemarin enggak salah.

"Terus, apa ... apa Mama marah pada Zal?" Aku bertanya dengan takut-takut. Tapi, Mama malah tersenyum.

"Buat apa Mama marah sama Zal? Harusnya juga Mama yang minta maaf ke Zal, Mama enggak bisa menjaga anak-anak Mama dengan baik." Entah kenapa perkataan Mama terdengar seperti sebuah penyesalan buatku.

"Nanti Mama kasih paham sama Donhee yang sudah bikin kamu terluka!" Mama berkata dengan berapi-api.

Sejujurnya aku sudah enggak peduli lagi sama Donhee. Mendengar namanya saja membuatku muak. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah Papa.

"Ma ... kalau begitu, jadi benar ada kemungkinan Papa masih hidup?"

"Iya, Zal. Atau seenggaknya, Mama berharap begitu."

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang