41 • yang mati, yang kehilangan, dan yang bertemu kembali.

210 15 74
                                    

Rayhan bilang, mata kiri Zaline buta permanen.

Itu kabar buruk. Zahian dan Zaina langsung memeluk Zaline sambil menangis ketika Master Emil yang merupakan seorang dokter memeriksa kondisi mata Zaline. Akan tetapi, Zaline sama sekali tidak menangis atau merasa sedih, karena Rayhan juga bilang, Abby tidak dapat diselamatkan. Padahal, Rayhan sudah menyalurkan kekuatannya enam jam nonstop untuk menyembuhkan luka menganga di dada Abby.

Tepat lima menit setelah enam jam berlalu, Abby berpesan ingin mendonorkan sebelah matanya kepada Zaline sebelum ia benar-benar menutup mata. Ketika elektrokardiograf menunjukkan garis lurus, teriakan histeris Lian adalah satu-satunya suara yang terdengar di ruangan.

Lian meraung-raung, memekik dengan suara melengking yang amat memekakkan telinga. Zaina yang sudah tahu akan hal ini terisak, dipeluknya sang ayah yang mengusap-usap punggungnya. Master Emil dan Rayhan bahkan tidak bisa menahan air mata mereka. Jelas, siapa pun bakal tahu raut keduanya yang menunjukkan penyesalan.

Zaline ingin ikut berteriak, tetapi suaranya tercekat. Yang bisa dilakukannya hanyalah menatap kosong jasad Abby yang terbujur kaku di ranjang. Sementara Andre menangis tanpa suara, tetapi ia tidak ingin menunjukkannya. Jadilah lelaki penghancur keluar ruangan, tidak ingin menatap jasad Abby lebih lama.

Dua jam berlalu. Master Emil sudah menghubungi keluarga Abby untuk segera diurus. Akan tetapi, Lian tak kunjung berhenti menangis. Bahkan ketika Zaline menghampiri Lian yang duduk di sofa, laki-laki itu masih terisak tanpa suara.

"Lian," panggil Zaline.

Lelaki yang dipanggil menoleh. Sorot matanya yang terlihat kosong menatap wajah Zaline yang sebelah matanya berbalut perban.

"Maaf." Zaline menggigit bibir, sementara tangan kirinya meremas ujung baju.

Masih dengan tatapan kosong, Lian menjawab, "Bukan salahmu, Zal."

"Aku enggak akan mengambil mata Abby."

Putusan itu membuat Lian terbeliak. "Zal? Tapi ... kenapa?"

"Entahlah, Li. Aku cuma merasa ... aku punya banyak utang sama Abby." Zaline mengembuskan napas, lantas mengalihkan pandangan ke arah lain. "Sampai dia enggak ada pun, dia masih berniat baik padaku. Dan sampai kapan pun, kayaknya aku enggak bisa membalas budi pada Abby."

Lian tahu, sebenarnya Zaline juga ingin menangis. Namun, entah apa yang membuat gadis itu menahan emosinya.

"Lagian, Li. Aku enggak mau tambah bikin Abby jadi enggak utuh. Terus juga ... aku merasa enggak enak sama kamu."

Lian menggeleng-geleng kepala. "Enggak, Zal. Itu permintaan terakhir Abby. Kalau dia enggak masalah buat mendonorkan matanya ke kamu, aku juga enggak masalah."

Zaline menunduk. Bibirnya terbuka, hendak berbicara lagi. Akan tetapi, Lian sudah bersuara terlebih dahulu.

"Enggak perlu merasa enggak enak. Kamu tahu, Zal? Abby itu, sampai dia meninggal pun, dia ingin terus berbuat baik kepada orang lain. Abby juga enggak pernah berharap balas budi orang lain. Dia benar-benar melakukannya dengan ikhlas. Karena itulah, Zal ... karena itulah aku mencintainya." Lian mencoba mengulas senyum, bahkan ketika matanya masih tidak memancarkan aura kehidupan. Namun, kalimat terakhirnya benar-benar ia ucapkan dengan tulus.

"Kalau kamu mau menerima donor matanya, dia pasti bakal senang karena setelah meninggal pun, dia masih bisa berguna buat orang lain."

Zaline akhirnya kembali menatap Lian. "Aku enggak bisa apa-apa kalau begitu."

"Terima kasih, Zal."

Lian akhirnya bisa menghentikan tangisnya setelah ia sekian lama tidak tersenyum tulus kepada orang lain selain Abby. Kemudian, dua jam setelahnya, Zaline langsung melakukan operasi donor mata yang dilakukan oleh Master Emil. Tentunya juga atas izin keluarga Abby. Mulanya Zaline ingin memprotes, kenapa donor mata dilakukan buru-buru sekali. Namun, setelah mendapatkan jawaban dari Master Emil bahwa donor mata harus dilakukan paling lambat enam jam setelah pendonor meninggal, barulah gadis itu menurut.

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang