12 • sepertinya bahaya akan terus mengintaiku. • arc 2 end

139 27 65
                                    

"Sudah sadar?"

Sayup-sayup aku menangkap suara yang agak berat. Terdengar seperti suara wanita.

Kelopak mataku terbuka perlahan. Rasanya berat sekali untuk membuka mata. Mana kepalaku pening. Begitu mataku terbuka seutuhnya, langit-langit dengan lampu chandelier yang indah menyapa penglihatanku.

Silau.

Aku menutup mataku dengan lengan kiri, lalu mencoba duduk, tapi aakh!

Punggungku sakit!

Perih. Rasanya jadi pengin nangis. Memori kala sesuatu menghantam punggungku terputar begitu saja. Apa sih, yang sebenarnya mereka tembak, lempar-atau apalah itu-kepadaku?

Peluru? Tapi aku enggak mati. Kulihat tubuhku juga baik-baik saja, tuh. Sekarang aku juga sudah enggak merasakan sakit lagi, meski dibayangkan sedikit saja nyeri itu kembali.

Tersadar, mataku menyisir sekeliling. Aku berada di ruangan minimalis modern yang bernuansa putih-hitam. Tapi ternyata aku enggak sendiri. Ada seseorang berjubah panjang nan gelap hingga kaki tengah berdiri membelakangiku.

Sepertinya dia yang tadi bertanya aku sudah sadar atau belum karena enggak ada orang lagi selain kami berdua di sini.

Dia lalu menoleh padaku. Wajahnya yang semula datar, tersenyum. "Baguslah, kau sudah sadar."

Aku balas tersenyum canggung. Wanita ini ... enggak salah lagi. Dia wanita yang kulihat sebelum pingsan tadi. Apalagi melihat ada benang biru di jari telunjuknya. Ditambah sepertinya dia yang melawan orang-orang yang mengejarku. Jelaslah dia seorang taksa juga.

Apa dia yang menolongku, ya?

"Namamu Zaline, kan?"

Aku mengangguk singkat. Dari mana dia tahu dia namaku?

"Panggil saja aku Madre." Wanita itu berkacak pinggang, masih dengan senyum menghiasi wajah. "Aku tahu namamu dari Abby Margaretha. Anak itu meminta bantuanku. Syukurlah kau sudah kabur dari sana, jadi aku tidak perlu repot-repot masuk ke markas itu."

Aku tertegun. "Abby? Anda-eh, maksud saya Madre-mengenal Abby?"

"Saya kenal semua anak-anak di bawah naungan Emil, Nak." jawabnya, lalu terkekeh.

Mendengar nama Master Emil, tanpa sadar rahangku mengeras. Telapak tanganku mengepal.

Madre mendesah kasar. "Tenanglah, bukan Emil yang membawamu ke tempat itu."

Aku spontan mendongak. Rautku seakan bertanya, lalu siapa?

"Tine, si peniru. Dia bisa meniru rupa orang lain dan menyamar menjadi orang itu. Kemungkinan besar yang menemuimu adalah dia."

Aku menunduk, mengembuskan napas lega. Sebagian diriku lega, tapi sebagian lain bertanya-tanya; bagaimana dengan Lian?

"Yang menyamar menjadi Lian adalah Ahn Donhee."

"Tapi bagaimana-"

"Dengan kemampuan Tine tentunya."

"Ah ...."

Keheningan melanda. Dipikir-pikir, aku enggak tahu ada tempat seperti ini di gurun pasir. Tapi bodohnya aku, bagaimana jika Madre ternyata pihak musuh yang menyamar-

"Pikiranmu terlalu berlebihan, Nak."

Eh? Dia bisa membaca pikiranku?

"Aku tidak bisa membaca pikiran. Ekspresimu jelas terbaca," ujar Madre yang sekali lagi, seakan membaca pikiranku. "Pertama, ini adalah markasku. Kita ada di dalam rumah dengan setengah bola. Asal kau tahu, Nak. Biar seperti orang gurun, begini-begini aku ini ibu-ibu modern. Tadinya aku tinggal di kota besar. Tapi karena suatu hal, aku harus tinggal di sini, mengawasi markas Onyx."

Madre membuka tudung jubahnya. Kini aku bisa melihat rambut hitam panjangnya yang dikucir kuda. Dan mata jelaga yang menatap teduh padaku.

"Kudengar, kau bisa melihat benang biru?" Madre berjalan mendekati ranjang tempatku berada, lalu duduk di tepinya, menghadapku.

Aku mengangguk mengiakan.

"Itu kemampuan yang langka, Nak. Tidak banyak yang tahu, tapi benang biru adalah tanda bahwa seorang manusia mempunyai kemampuan. Pantas mereka menginginkanmu."

Aku menunduk sembari memainkan jemariku. Kemampuan langka, huh? Sebelumnya aku bahkan enggak pernah memercayai apa yang kulihat. Dari mana pula aku mendapatkan kemampuan ini? Mama dan Zai bisa melihat benang merah, hanya aku yang biru. Kenapa? Kenapa?!

"Jangan menangis. Kau mungkin tidak meminta diberi kemampuan seperti itu, tapi kemampuanmu itu bisa jadi suatu kelebihan, Zaline. Kau bisa membantu banyak orang. Tapi di lain sisi, kau bisa menghancurkan banyak orang dengan kemampuanmu itu. Semuanya tergantung kepada siapa kau berpihak."

Aku bungkam, memilih abai kendati telingaku tetap mencerna kata-katanya.

"Aku sudah memberi tahu Abby. Mereka sedang mencari Lian dan Emil. Dan kita harus segera pergi dari sini."

"Kenapa-"

Dentuman besar mendadak terdengar, membuatku spontan menutup telinga dan memejam sejurus. Begitu aku membuka mata, bagian depan rumah Madre luluh lantak. Pintunya rusak-ah, bukan rusak lagi. Tapi hancur. Dindingnya pun runtuh dan meluluhlantakkan barang-barang di dekatnya.

Madre menggeram, lantas menarik tudung jubahnya ke atas dan berdiri di depanku, seakan menghalangi mereka agar enggak menyentuhku.

"Ini alasannya, Nak," ujar Madre tanpa menoleh.

Matanya yang besar dan bulat menajam. "Tetap berdiri di belakangku, berlindunglah."

"Tapi a-aku enggak bisa diam sa-"

"IKUTI KATA-KATAKU!" Madre menoleh, hanya untuk membentakku.

Aku tersentak. Selama ini ... aku jarang dibentak. Tapi sekarang bukan waktunya untuk merengek. Di depan sana, beberapa orang dengan pakaian seperti yang kulihat di markas tadi menodongkan senapan ke arah kami.

Madre mundur selangkah, mendekatkan kepalanya kepadaku. "Dengar baik-baik, mereka-Abby dan yang lain-akan datang. Selama aku menghadapi orang-orang ini, selamatkan dirimu, temui mereka."

Aku mengangguk, meski dia enggak melihat.

Suata dentuman terdengar lagi. Enggak kalah kencang dari yang tadi.

Madre mengacungkan tangan, lantas-entah bagaimana-menciptakan bunyi bedebum, balas menyerang.

Ada celah di dinding yang sudah luluh lantak menjadi reruntuhan. Aku bergegas keluar dari rumah Madre melalui celah itu dengan gesit seperti tikus yang lincah.

Suara bedebum terdengar lagi. Aku memejam. Semoga Madre baik-baik saja.

"Halo, Zaline."

Langkahku mendadak terhenti. Aku ... aku rasanya sungguh sial.

Di hadapanku, enggak jauh dari rumah Madre, laki-laki yang enggak asing bagiku menghadang. Seringainya seakan puas sekali. Dia berkacak pinggang, sementara satu tangannya terulur kepadaku.

Dia, orang yang paling ingin kuhindari saat ini.

Aku mendesis. "Ahn Donhee."

- arc kedua selesai -

***

Yosh! Makin tegang aja nih (eh, dapet gak tegangnya?)

Arc kedua selesai. Arc ketiga akan dilanjut bulan Januari.

See you~

-Zu

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang