"... Line ... ngun!"
"... Zaline, bangun!"
"Chika! Jangan bangunin dia kayak begitu!"
Samar-samar aku mendengar suara beberapa orang di sekitarku. Enggak cuma itu, rasanya tubuhku juga digoyang-goyang. Karena berisik, aku jadi enggak bisa tidur dengan nyenyak.
Tidur? Iya, aku tertidur, bukannya pingsan—oke, memang awalnya pingsan. Tapi itu enggak lama. Aku cuma capek habis lari-larian sejauh entah berapa kilometer. Lagian aku juga sudah ngerasa enggak sakit dan perih lagi.
"Engh ...." Aku mengerutkan kening dengan kelopak mata masih terpejam.
"Fae! Fae! Dia sudah sadar!"
"Diam, aku tahu."
Lagi-lagi dua suara itu. Suara perempuan asing.
"Chika, jangan berisik. Zaline baru saja sadar."
Suara lain, yang ini laki-laki.
Oke, aku benar-benar enggak bisa lanjut tidur. Aku membuka kelopak mata perlahan. Hal pertama yang kulihat adalah langit-langit kamar bernuansa putih. Lalu pandanganku mengedar ke sekeliling. Aku berada di sebuah ruangan, sepertinya kamar.
Ah, jadi deja vu. Seperti saat aku terbangun di rumah Madre.
Di ruangan ini, ada tiga—ah, enggak, tapi empat—orang yang mengelilingi ranjang tempat aku berbaring. Dua laki-laki dan dua perempuan. Aku enggak kenal satu pun dari mereka.
"Akhirnya kamu sadar!" Seorang remaja perempuan yang terlihat seumuranku berseru di dekatku, tepatnya samping kanan ranjang.
Aku refleks memejam. Aduh, dia berisik ....
"Maaf, ya. Chika memang berisik."
Loh?
Aku tertegun. Tadi aku bicara dalam hati, kan? Aku yakin banget tadi aku cuma membatin, tapi kenapa orang yang ada di sebelah gadis berisik itu menjawab seolah tahu apa yang kukatakan?
"Apa katamu, Fae? Aku berisik?!" Gadis yang—kalau enggak salah—dipanggil Chika, melotot ke arah gadis di sebelahnya.
Fae—gadis lain di sebelah Chika yang rambutnya dikepang—mengisyaratkan Chika untuk diam (terlihat dari gestur jari telunjuk yang dia letakkan di depan bibir).
"Kamu memang berisik sih, Chik," timpal yang lain. Dari suaranya, dia laki-laki yang sebelumnya memperingati Chika untuk enggak berisik saat aku masih belum membuka kelopak mata.
Chika merajuk seperti anak kecil. "Ih, Kak Andre!"
Aku lantas mengalihkan pandangan ke arah dua laki-laki yang berdiri di samping kiri ranjang. Satu memakai kacamata dan satu berjas putih.
"Kamu sudah baikan? Ada yang masih sakit?" tanya laki-laki satunya yang berjas putih seperti dokter. Kayaknya dia yang paling tua dan dewasa di antara tiga orang lainnya.
Aku mengangguk sebagai jawaban. "Aku sudah baikan."
...
Eh, tunggu sebentar. Mereka siapa?
Aku spontan bangkit duduk dan menatap mereka tajam. Zaline bodoh! Bagaimana kalau mereka ternyata Onyx?!
"Tenang saja, Zaline. Kami bukan Onyx," kata Fae seakan menjawab kepanikanku.
Chika menoleh kepada Fae. "Eh, Zaline mengira kita Onyx?" tanyanya yang dijawab anggukan Fae.
Aku enggak bisa enggak kaget. Orang bernama Fae itu ... apa dia bisa membaca pikiran? Sudah dua kali dia menjawab batinanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue String - END (Segera Terbit)
FantasiSetiap orang memiliki benang merah takdir di jari kelingking yang menghubungkan seseorang dengan jodoh masing-masing. Benang merah itu tak dapat dilihat, kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melihatnya. Itulah yang diceritakan mama Zal...