25 • ini tentang rahasia seorang Zaina. • arc 4 end

98 17 43
                                    

Aku tercengang setelah mendengar cerita dari Zaina. Andara, satu-satunya teman dekat Zai sebelum kami pindah ke kota ini, ternyata seorang taksa.

"Oh, ya, Zai. Tadi kamu bilang, Andara pernah berantem melawan seorang wanita eksentrik dan diincar suatu organisasi berbahaya?" Aku bertanya dengan dada yang berdebar kencang. Jika aku benar ... orang yang melawan Andara waktu itu adalah Tine dan organisasi yang mengincarnya adalah Onyx.

Zaina mengangguk.

"Bagaimana ciri-ciri wanita itu? Dan nama organisasinya, apa kamu ingat?"

Zaina terdiam sejenak, tampak tengah berpikir.

"Hm ... kalau enggak salah, wanita itu berambut pirang, warna matanya hijau, bertubuh tinggi, dan penampilannya sangat eksentrik. Kalau enggak salah, nama organisasinya, O ... O ... O apa, ya? Pokoknya, nama organisasi itu diambil dari nama permata."

Aku menelan saliva.

Benar. Itu Tine.

Aku memang belum pernah bertemu dengannya, tapi Fae pernah menunjukkanku foto Tine. Wanita eksentrik, dan organisasi yang diambil dari nama permata. Siapa lagi kalau bukan Tine dari Onyx?

"Apa nama organisasi itu Onyx?"

Zaina menjentikkan jari. "Nah, itu dia!"

Aku tersenyum masam. "Benar ternyata."

"Benar apanya, Kak?"

"Wanita yang kamu bilang pernah berantem sama Andara, namanya Tine dari Onyx. Dia juga orang yang menculik dan membawa Kakak ke Sahara." Aku mengepalkan kedua tangan, mencoba menahan amarah. Tapi Zaina justru langsung memegang kedua bahuku dengan mata berkilat marah.

"Jadi dia yang menculik Kakak juga?!" Zaina memekik di depan wajahku.

Aku mengangguk, lantas pelan-pelan mencoba melepaskan genggaman Zaina. Rasanya kayak aku yang diteriaki.

"Tenang, Zai!"

"Aku enggak bisa tenang, Kak! B*ngs*t! Enggak cuma sudah membunuh Andara, dia juga menculik Kakak! Aku enggak akan maafin dia si*l*n!" Zaina mengepalkan kedua tangan. Dia benar-benar emosi.

Aku yang berniat memarahinya karena sudah berkata kasar seketika urung karena baru sadar akan kata-katanya.

"Membunuh Andara? Apa maksud kamu, Zai? Bukannya Andara meninggal karena bunuh diri?"

Tentu aku heran. Seingatku, satu-satunya teman Zaina di sekolah lamanya meninggal karena menjatuhkan diri dari rooftop sekolah. Hal inilah yang membuat Zaina sangat trauma dan pada akhirnya kami pindah.

Zaina yang semula emosi, melemaskan bahunya.

"Enggak, Kak. Aku lihat dengan mata kepala Zai sendiri, dia yang membuat tubuh Andara melayang dan menjatuhkannya dari atas rooftop sekolah. Tapi waktu itu Zai yang baru sampai di atas cuma berdiri di ambang pintu, terlalu takut buat mendekat karena tubuh Zai rasanya kayak membeku. Setelah sadar, aku langsung turun. Tapi sayangnya, Andara sudah bersimbah darah." Zai bercerita dengan tubuh bergetar seperti menahan tangis. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku enggak kuasa melihat adikku terpukul kayak begini. Jadi tanganku bergerak untuk memeluk dan mengelus-elus punggungnya.

Rasa benciku pada Tine makin menjadi-jadi. Enggak cuma menculikku, dia juga sudah membunuh seseorang dan membuat adikku trauma kayak begini. Tapi sekarang, enggak ada gunanya lagi aku marah padanya. Fae dan yang lain bilang Tine sudah mati setelah melawan Lian dan Andre.

"Kak ... Andara dibunuh, Kak, dia dibunuh! Aku sudah bilang sama polisi kalau Andara enggak bunuh diri. Aku juga sudah bilang ke Mama, bilang ke guru dan teman-teman. Tapi enggak ada satu pun yang percaya sama aku!" Tangis Zaina pecah. Aku yang tambah enggak tega makin memeluknya.

Sambil sesegukan, Zaina melanjutkan, "Kakak tahu? Para polisi malah menganggap Zai pelaku, kalau saja waktu Mama enggak membantah dan membebaskan Zai. Terus, Kakak ingat enggak, kalau Zai pernah dimasukin ke RSJ? Mereka menganggap aku gila, Kak."

Aku mengusap-usap bagian belakang kepala Zaina, mencoba menenangkannya. Sebenarnya, aku baru tahu kalau adikku semenderita ini. Aku memang tahu Zaina pernah masuk RSJ, tapi enggak tahu alasannya. Waktu itu kami juga enggak sedekat sekarang karena Zaina dulu sangat tertutup.

"Kamu terlalu banyak menyimpan semuanya sendirian, Zai. Maafin Kakak, ya. Kakak enggak tahu kamu semenderita ini. Andai Kakak ada buat Zai waktu itu ...." Aku enggak sadar sejak kapan mataku mulai berair. Lantas aku melepaskan pelukanku dan menatapnya.

"Lain kali, Kakak ingin Zai percaya sama Kakak. Kita ini saudara, Zai. Kamu tahu? Kakak ikut sakit ngelihat Zai ternyata menderita begini."

"Maafin aku, Kak. Aku akan coba percaya sama Kakak. Tapi, Kakak juga, ya?"

Dengan senyum terulas, aku mengangguk. "Tentu, Zai," jawabku sambil mengusap pipi Zaina untuk menghapus air matanya. "Oh, ya, soal Tine, orang itu sudah mati, Zai. Teman Kakak yang mengalahkannya."

Zaina terbeliak. "Yang benar, Kak?! Orang itu sudah mati?"

"Iya, kamu tenang saja."

"Syukurlah, akhirnya dia menemui ajalnya. Orang kayak dia memang pantas mati daripada membahayakan orang lain."

Aku mengangguk setuju.

"Oh, iya, Kak. Soal pertanyaan Kakak di awal ... sebenarnya aku tahu kalau Kakak diculik dari teman-teman Kakak dan Kak Lian."

Mataku spontan membulat. "Eh? Abby?"

"Iya. Kak Abby dan empat orang lainnya sempat ke rumah. Terus Kak Abby ngasih tau aku kalau ada yang menyamar sebagai Kak Lian dan guru Kak Abby untuk menculik Kakak."

Aku tertegun. "Ternyata gitu ...."

"Satu lagi."

"Apa?"

"Kakak tahu, kan, kalau aku bisa melihat benang merah?"

Aku mengangguk.

"Sejauh ini, ada tiga tipe benang merah yang pernah aku lihat. Yang pertama, benang merah biasa yang terhubung dengan jodoh masing-masing. Yang kedua, benang merah berwarna kebiruan kayak punya Kakak dan Andara yang artinya orang itu mempunyai kemampuan. Yang ketiga, benang merah yang ujungnya enggak terlihat atau terputus. Ini artinya orang tersebut enggak berjodoh dengan siapa pun karena jodohnya adalah kematian."

Aku bergidik dengan penjelasan yang terakhir. Aku juga baru tahu ternyata benang merah enggak cuma menghubungkan jodoh seseorang. Ah, tapi kalau enggak salah ingat, Aerika juga pernah bilang kalau kata Donhee, benang merahku berwarna kebiruan.

"Nah, karena itu, Zai khawatir banget sama Kak Abby, Kak. Soalnya ...." Zaina menggantungkan kalimat.

"Soalnya kenapa, Zai?" tanyaku geregetan. Zaina malah menatapku ragu-ragu.

"... Eng, soalnya, ujung benang merah Kak Abby seperti terputus dan enggak terhubung dengan siapa pun."

- arc keempat selesai -

***

Yosh, akhirnya arc 4 selesai. Next chapter mulai masuk ke arc 5!

-Zu

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang