"Abby." Lian berbisik amat lirih. Jemarinya mengisyaratkan Abby untuk mendekat. Gadis itu menangkap kode Lian. Ia melangkah sedikit, mendekatkan wajahnya ke telinga Lian.
"Cepat teleportasi. Selamatkan Lux, lalu bawa dia ke markas."
"Tapi—"
"Biar kami yang urus Tine."
Abby menatap Lian ragu, lantas tetap mengangguk. Sejurus kemudian, ia menghilang. Menyisakan empat remaja yang bersitegang berhadapan dengan wanita dewasa yang eksentrik.
Tine berkacak pinggang. "Ah, gadis itu menghilang. Tidak asyik," cibirnya seperti anak kecil. "Tapi memang lebih baik dia selamatkan anak itu dulu sebelum anak itu mati."
Seringaian Tine kian melebar, membuat Lian serta Fae menggertakkan gigi.
"Kau—!" Chika menggeram, lantas merangsek maju. Ia yang semula berada di sisi ruangan dekat tembok mendadak muncul di hadapan Tine dan melayangkan tendangan dari atas. Namun, Tine bisa menangkisnya hanya dengan lengan kanan. Chika terus melangkah, melayangkan berbagai tendangan dan pukulan yang begitu cepat hingga menyudutkan Tine ke pintu.
Gerakan Chika benar-benar tak terlihat oleh mata awam sampai-sampai orang mungkin melihatnya seperti berteleportasi, padahal tidak. Kemampuannya adalah speed atau kecepatan. Sampai gadis berambut merah cabai yang dikucir bulat di kedua sisi itu meninju perut Tine, sang wanita eksentrik tertawa sembari menangkap tinjunya dan mencengkeram pergelangan tangan mungil milik Chika.
"Sudah selesai main-mainnya, Sayang?" Pertanyaan dengan nada remeh terlontar dari bibir merah menyala Tine.
Sebelum kaki kanan wanita itu melayang dan mengenai kepalanya, Chika dengan sigap melompat mundur.
"Chika! Hati-hati!" Andre menangkap tubuh Chika yang nyaris oleng.
Chika menoleh ke belakang, menatap wajah yang berada jauh di atasnya. "Kak Andre enggak perlu mengkhawatirkanku," ujarnya, lalu terkekeh.
Tanpa membiarkan tiga rekan dan lawannya berbicara lagi, Chika bergerak cepat bahkan sebelum satu detik ke tempat Tine berdiri. Tangan kanannya terkepal, lantas meninju tepat di ulu hati Tine hingga wanita itu benar-benar terpojok dan pintu kayu di belakangnya retak.
"Ini gawat." Fae berkata gelisah.
Lian dan Andre spontan menoleh.
"Aku benar-benar enggak bisa membaca pikiran Tine, tapi aku tahu dia merencanakan sesuatu." Fae memegang kening, sementara tangan kanannya berkacak pinggang.
Andre menimpali, "Yang bisa kita andalkan sekarang cuma Chika. Lian enggak mungkin menggunakan kekuatannya lagi, jadi satu-satunya cara—"
Andre lantas langsung berlari ke tempat berbagai senjata terpatri dan mengambil sebuah tongkat panjang dan agak lebar seperti tombak.
Fae yang mengerti segera ikut mengambil senjata. Ia memilih nunchaku.
"—terjang langsung!"
Andre dan Fae berlari ke arah Tine yang sudah membalikkan keadaan. Tubuh Chika terempas ke belakang, tetapi dua milidetik kemudian ia berada di belakang Tine. Kakinya lagi-lagi terangkat, hendak mengenai tengkuk wanita itu. Sementara itu, dari sisi kiri Fae mengayunkan nunchaku dan di sisi kanan Andre mengacungkan ujung tombak. Di belakang, Lian merentangkan kedua tangan lebar-lebar.
[Ruang hampa: lumpuhkan]
Semua gerakan terhenti, bahkan embus angin tidak berdesir sama sekali. Chika, Fae, dan Andre yang hendak menyerang Tine bagai maneken, sedangkan wanita itu terjebak dalam sebuah kubus hitam nan transparan. Hanya kubus itulah yang bergerak berputar-putar. Lian mengembuskan napas kasar. Ia belum menguasai teknik ini sepenuhnya. Bukan hanya Tine yang terjebak, ketiga temannya pun ikut terhenti. Lutut Lian luruh. Ia jatuh terduduk. Hanya menggunakan satu teknik saja sudah membuatnya kelelahan setengah mati. Tatkala Lian menyeka peluh, tanpa disadarinya, Tine yang berada dalam kubus menyunggingkan senyum.
Mendadak, kubus yang mengurung Tine lenyap seketika. Ia mengarahkan tangan ke depan. Lantas ketika kekuatan Lian lepas, ketiga orang yang hendak menyerang Tine beserta Lian sendiri terempas kuat hingga menubruk dinding bata.
"Dengar, anak-anak. Aku hanya perlu satu kekuatan untuk mengalahkan kalian semua. Jadi menyerahlah dan ikut aku ke Onyx."
***
Abby baru saja berteleportasi ke depan markas Tine dan menemukan Lux yang terkapar dengan punggung menyender pada tembok. Kepalanya mengucur darah hingga menetes mengotori pakaian serta tanah. Tak hanya itu, dari kedua sudut bibirnya juga mengalir cairan merah kental. Hoodie abu yang dikenakan Lux menjadi tampak lusuh dan sobek di beberapa sisi.
Abby terkejut bukan main. Ia mengecek degup jantung dan deru napas Lux; amat lemah. Rahangnya mengeras. Apa yang wanita jahanam itu perbuat pada Lux? Apa pun itu, Abby takkan pernah memaafkannya. Pun dengan apa yang wanita itu lakukan pada Lian, Master Emil, juga Zaline.
Gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya mencoba mengangkat tubuh Lux yang tak terlalu berat untuk laki-laki seumurannya. Dengan sekejap, mereka menghilang dan muncul di ruang tamu markas. Namun, baru saja sampai, sesuatu menghantam dagu Abby hingga ia terhuyung mundur.
Abby meringis memegangi dagunya. Tatapan tajam gadis itu seketika terarah ke depan. Seorang laki-laki ber-hoodie hitam yang mengantongkan kedua tangannya di saku menyeringai puas. Dugaannya, orang itu baru saja menendang dagunya.
"Halo, gadis kecil. Lama tak berjumpa." Orang itu menyapa riang dengan bahasa Inggris aksen Amerika yang lancar.
Abby mendengkus panjang, lantas mengusap wajah. "Asta ... gaaa!" serunya gemas. "Bertambah lagi satu masalah."
Kening lelaki itu mengerut. "Apa kau bilang? Aku masalah?"
"Kenapa kamu bisa ada di sini, sih?!" Abby yang tak mengindahkan kata-kata lelaki itu bertanya dengan nada membentak.
"Hanya ingin berkunjung." Ia tertawa. "Anyway, anak itu bisa saja mati lho kalau dibiarkan," ujarnya sembari menunjuk Lux yang terbaring di lantai marmer, tak jauh dari tempat Abby berada.
Abby lantas mendekati Lux dan mengangkat tubuh anak itu dengan hati-hati. Ia bangkit sembari menggendong Lux ala bridal style.
"Makanya ... kamu minggir!"
"Tidak mau." Lelaki itu menelengkan kepalanya ke kanan.
"Maumu apa, hah?!" gertak Abby.
"Tidak ada, sih. Tapi izinkan aku membawa anak itu ke markas. Nanti dia akan diobati."
"Memangnya kamu pikir aku percaya padamu?"
"Itu berarti kau membiarkannya mati dong."
"Jangan bicara yang enggak-enggak!" Abby melangkah ke depan sembari menggendong Lux. "Minggir!"
"Kubilang tidak mau." Lelaki itu tak kunjung bergerak dari tempatnya. Malah, menatap dingin Abby.
Geram, Abby berteleportasi, tetapi belum sampai ia ke tempat yang ia tuju, Abby muncul kembali hingga tubuh Lux menabrak dada bidang lelaki itu. "Kamu—!"
"Kau lupa kemampuanku sama denganmu, hmm?"
Abby tak menghiraukannya. Ia membalikkan badan, lalu kembali berteleportasi. Namun, lagi-lagi tubuhnya mau tak mau muncul di depan pintu. Dan lelaki yang membelakangi pintu itu seakan menghadang Abby, tak membiarkannya pergi.
"Sudah kubilang aku tidak mau minggir, bukan? Jika Ahn Donhee tengah mengurus gadis bernama Zaline serta Madre dan Senior Tine mengurus empat orang temanmu, urusanmu sekarang adalah aku."
Pupil Abby membulat. "A ... apa? Zaline ...?"
Giginya menggertak tanpa sadar. Sorot tajam bak pisau terarah lurus pada lelaki itu.
"Baiklah, kalau itu yang kamu mau, Carl." Abby mengepalkan tinju. Tanpa diduga, ia menghilang, kemudian muncul tepat di depan Carl dan meninju dagunya hingga kepala lelaki itu terdongak.
"Akan kubuat kamu babak belur seperti waktu itu!"
***
Hai!
Setelah sebulan akhirnya Zu bisa update lagi. Sori karena telat dari waktu perjanjian. Insya Allah bulan ini Zu akan rajin update.
Btw, gomen ne, Zu gak pandai bikin adegan baku hantam T^T
Tapi, selamat membaca^^
-Zu
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue String - END (Segera Terbit)
FantasySetiap orang memiliki benang merah takdir di jari kelingking yang menghubungkan seseorang dengan jodoh masing-masing. Benang merah itu tak dapat dilihat, kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melihatnya. Itulah yang diceritakan mama Zal...