24 • Zaina yang bisa melihat benang merah.

121 17 63
                                    

Aku punya suatu kemampuan aneh yang sering diceritakan oleh Mama, yaitu dapat melihat benang merah takdir. Awalnya kukira itu hanyalah dongeng pengantar tidur yang suka Mama ceritakan untuk menghibur anak-anaknya, tetapi enggak. Cerita itu bukan sekadar dongeng pengantar tidur atau yang Kakak anggap takhayul.

Saat umurku enam tahun, aku sudah mulai bisa melihatnya. Ada benang merah tipis di jari kelingking setiap orang, termasuk Kakak. Tapi, benang merah di jari kelingking Kakak enggak sepenuhnya berwarna merah. Ada rona kebiruan dan di tengah-tengahnya berwarna ungu. Pokoknya, benang Kakak adalah perpaduan warna yang cantik.

Jujur saja, awalnya kukira aku berhalusinasi karena benang-benang yang kulihat sangat mengganggu penglihatan. Jadi aku mengatakannya pada Mama, termasuk tentang benang merah Kakak yang amat berbeda. Namun, saat aku menceritakan itu, raut Mama terlihat khawatir dan beliau langsung memelukku. Katanya, "Jaga baik-baik kemampuanmu, Zai. Kemampuan kamu adalah kemampuan yang langka."

Aku enggak ngerti, jadi manggut saja. Tapi beberapa tahun kemudian, akhirnya aku mengerti bahwa ... enggak cuma Kakak yang punya benang merah kebiruan.

Aku pernah bertemu seseorang yang punya benang merah kebiruan seperti Kakak. Dia perempuan, teman sekelasku. Aku sempat berteman dengannya sampai suatu tragedi memisahkan kami. Pertemuan pertama kami terjadi saat aku kelas satu SMP semester dua.

***

"Nama saya Andara Wiraatmadja. Pindahan dari Kalimantan. Salam kenal semuanya!" kata seorang anak baru yang memperkenalkan diri enggak lama setelah memasuki kelas.

Tipe anak yang riang dan banyak bicara, ya. Sepertinya enggak akan cocok denganku.

"Salam kenal, Andara. Silakan duduk di meja kedua dari kiri di samping Zaina yang rambutnya dikucir kuda," perintah Bu Nikita selaku wali kelasku.

Sementara itu, Andara menjawab riang, "Baik, Bu!"

Aku yang disebut hanya bertopang dagu sambil menatap ke arah lain, enggak terlalu memedulikan kedatangan anak baru itu. Memang sih, bangku di sebelahku kosong. Tapi masa harus diisi sama dia? Mau protes, tapi malas. Toh, tahu-tahu dia sudah ada di sebelahku.

"Halo, Zai! Salam ken—eh, aku enggak apa-apa, kan, ya panggil kamu begitu?"

Masih dengan bertopang dagu, aku hanya mengangguk kecil. Enggak sedikitpun mencoba menatapnya.

"Oke, salam kenal, Zai! Aku Andara, semoga kita bisa berteman baik!"

Sapaan yang terdengar ramah itu membuatku spontan melirik ke arahnya. Detik selanjutnya, mataku membulat. Bahkan sampai enggak sadar mulutku juga ikut menganga.

Dia ... Andara Wiraatmadja. Perempuan berambut hitam lurus sepunggung yang dibando pink. Senyum lebarnya memamerkan deretan gigi putih susunya yang rapi. Binar di matanya tampak hidup, penuh dengan harapan. Namun, bukan itu yang menjadi fokusku, melainkan ... benang merah di jari kelingkingnya yang berwarna kebiruan.

***

Kakak kelas si ketua basket itu nantinya akan berpasangan dengan teman sekelasku yang berambut bob. Lalu, si primadona sekolah ... akan berpasangan dengan cowok culun itu—ah?

Jodoh benar-benar enggak ada yang tahu, ya (selain aku dan Mama). Siapa yang bakal sangka mereka berjodoh, padahal mereka berdua sama sekali enggak akur.

"Zai, kamu lagi ngapain? Ngelamun aja sambil natap lapangan!"

Tanpa perlu menoleh aku juga tahu itu suara Andara. Di kelas, cuma dia satu-satunya orang yang mau menyapaku, meski teman sekelas sudah memperingatinya kalau aku ini orang aneh yang sukanya menyendiri.

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang