"Zai, jangan bercanda, ah. Enggak lucu."
Benang merah Abby seperti terputus dan enggak terhubung dengan siapa pun. Aku enggak budek waktu Zaina menjelaskan soal benang merah tadi. Bukannya itu artinya Abby akan ....
Ah, enggak-enggak! Dari tadi aku mati-matian menolak dugaan itu.
"Siapa yang bercanda, Kak. Aku pikir juga tadinya aku salah lihat. Tapi aku yakin banget, benang merahnya terputus." Zaina berkata dengan raut ragu, tapi nada bicaranya terdengar yakin dan itu semakin membuatku cemas.
Aku memang baru mengenal Abby. Dikatakan sudah dekat pun sebenarnya belum. Tapi aku tahu, Abby adalah orang yang sangat baik. Aku enggak akan rela orang sebaik dia dan orang yang sudah menyelamatkanku akan mati.
"Eng ... Zai enggak tahu ini bakal sedikit menenangkan Kakak atau enggak, tapi belum tentu Kak Abby akan mati dalam waktu dekat. Bisa jadi nanti saat Kak Abby dewasa."
"Oh, betul juga. Kenapa pikiran Kakak jadi ke mana-mana." Aku mendesah pelan.
"Mungkin karena Kakak akhir-akhir ini berurusan dengan taksa dan dunia berbahaya mereka."
Zaina mengalihkan pandangan. Kuikuti arah pandangnya. Ternyata dia menatap jendela yang ada di belakangku. Gordennya terbuka, jadi kami bisa melihat pemandangan di luar kamar. Tapi enggak melihat apa-apa selain pemandangan langit mendung dan atap rumah-rumah. Zaina melihat apa?
"Kenapa, Zai?"
Pertanyaanku seperti mengagetkannya. Zaina agak tersentak ketika aku menepuk pundak kirinya.
"Enggak, Kak. Enggak kenapa-kenapa."
Aku menghela napas. "Kamu lagi mikirin sesuatu?"
"Sebenarnya, iya."
"Mikirin apa? Masih ada yang kamu sembunyikan?" Aku bertanya dengan suara pelan. "Mau cerita sama Kakak?"
"Aku masih heran sama Mama, Kak. Kenapa Mama enggak heboh waktu Kakak hilang dan diculik? Mama juga malah manggil semua saudara ke sini. Aku enggak ngerti."
Perkataan Zaina sukses membuatku terdiam. Belum sempat aku merespons, Zaina melanjutkan, "Dan yang lebih mengherankan lagi, harusnya ... jika salah satu dari pasangan yang berjodoh sudah mati, benang merah di antara sepasang jodoh itu akan terputus. Orang yang masih hidup, benang merahnya enggak terhubung dengan siapa pun, kecuali dia berjodoh lagi."
"Terus ...?"
"Kakak tahu, kan, kalau Papa sudah mati?"
Aku mengernyit.
Papa ... kenapa Zai tiba-tiba bahas Papa?
Tapi aku tetap mengangguk walaupun bingung. "Iya. Papa, kan, sudah meninggalkan waktu kamu lahir."
"Iya, kan? Tapi kok, aku lihat benang merah Mama enggak putus, masih ada."
Aku mengerjap, mencoba memproses kata-kata Zaina. Tapi, bukannya nyambung, otakku malah nge-lag karena rasanya hari ini aku sudah menerima terlalu banyak informasi yang mengejutkan.
"Maksud Zai?"
Zaina mengembuskan napas kasar. "Enggak jadi, lupain aja."
"Lah, kok gitu," protesku.
Zaina enggak menjawab dan malah melirik ke jendela lagi. Karena dia udah enggak bersuara atau melontarkan topik lagi, jadi giliran aku yang bertanya.
"Zai, sebelumnya, pernah ada perempuan bernama Fae atau Fatikha yang ke sini? Dia temannya Abby. Penampilannya, rambutnya dikepang, terus matanya warna hijau kayak bule."
Zaina mengalihkan pandangan ke arahku lagi. "Iya, pernah. Waktu itu enggak cuma Kak Abby, tapi ada dua laki-laki dan dua perempuan yang ke sini nanyain Kakak dan Kak Lian."
Aku tertegun. "Mereka sempat ngobrol sama Mama?"
"Seingat Zai, cuma Kak Abby yang sempat ngobrol sama Mama. Tapi, Kak Abby juga memperkenalkan teman-temannya, termasuk Kak Fae ke Mama."
Aku mengangguk-angguk.
Hm ... aku yakin enggak salah dengar tadi. Kalau memang Fae pernah ke sini, itu berarti Mama seharusnya kenal sama Fae, kan? Tapi, kenapa Mama tahu kalau aku diantar ke rumah sama Fae, padahal tadi Fae ada di luar rumah? Apa karena Mama bisa melihat benang merah?
Aduh, semakin dipikir, rasanya kepalaku jadi semakin sakit.
"Muka Kakak keliatan stres. Kayaknya Kakak kecapekan abis dari Sahara. Mending Kakak istirahat dulu."
Zaina bangkit dari kasurku, kemudian berjalan menuju pintu.
"Kayaknya kamu benar, Kakak lagi kecapekan." Mulutku malah asal mengiakan lagi.
"Oh, ya, Kak. Zai punya permintaan." Zai yang sudah memegang kenop pintu, membalikkan badan dan menatapku dengan ekspresi yang ... sulit kumengerti.
"Permintaan apa, Zai?"
"Kakak ... Zai minta, Kakak jangan terlibat sama taksa lagi, ya?"
Lagi-lagi aku tertegun.
"Aku enggak mau Kakak bernasib sama kayak Andara.
Apalagi, Kakak juga sempat terlibat organisasi yang sama yang pernah membunuh Andara." Aku bisa melihat kesedihan di raut Zaina. Matanya seperti berkaca-kaca."Kak, janji ya, jangan terlibat sama mereka lagi? Aku enggak mau kehilangan Kakak. Aku enggak mau kehilangan orang yang aku sayangi lagi, Kak," lanjutnya. Kemudian, Zaina mengulas senyum.
Melihat senyumnya yang terlihat sedih membuat hatiku terenyuh, sampai enggak sadar aku mengangguk. Lantas, Zaina pamit keluar kamarku.
Tapi, maaf, Zai ... Kakak enggak bisa janji.
***
Baru saja kemarin aku bilang enggak ingin terlibat, pagi ini, aku mendapatkan surat anonim yang diantarkan oleh seekor merpati. Surat dengan amplop biru itu bertuliskan:
[Papamu masih hidup. Pergilah ke markas kami di Sahara jika kau ingin menemuinya untuk terakhir kali.]
Aku meremas surat tersebut dan melemparnya asal.
Surat sialan. Mana mungkin aku percaya?
- arc kelima selesai -
***
Arc berikutnya akan menjadi arc penutup di seri satu.
Ayey, senang sekali sebentar lagi Blue String seri satu akan selesai~
—Zu
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue String - END (Segera Terbit)
FantasySetiap orang memiliki benang merah takdir di jari kelingking yang menghubungkan seseorang dengan jodoh masing-masing. Benang merah itu tak dapat dilihat, kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melihatnya. Itulah yang diceritakan mama Zal...