Lelaki berwajah oriental itu berjalan menyusuri ruang putih nan hampa. Lian yakin sekali ia sudah berjalan selama puluhan menit, tetapi tidak juga menemukan sosok Tine. Ia akhirnya menghentikan langkah, berjongkok, lalu mengacak-acak rambut frustrasi.
"Kenapa aku enggak bisa menemukannya?!" jeritnya dengan suara bergema. "Benar-benar ... di ruang ini enggak ada apa-apa. Tapi aku yakin banget waktu itu bertemu dengannya di ruang ini kok ...."
Lian mengembuskan napas kasar. Tadinya ia berniat untuk mencari Tine. Pagi-pagi sekali seusai bangun tidur, Lian baru teringat, mungkin saja ia bisa bertemu Tine lagi. Lian berpikir barang kali wanita eksentrik itu ada di dalam dimensi ruang miliknya. Namun, Lian tidak kunjung juga menemukan Tine meski sudah berpindah-pindah ruang.
Baiklah, satu lagi. Lian bangkit berdiri.
Ia akan mencoba berpindah ke satu ruang lagi; ruang tempat ia mengirim Carl.
[Kendali ruang: berpindah].
Detik selanjutnya setelah Lian berbisik, tubuhnya berpindah ke ke sebuah tempat dengan langit biru cerah yang membentang, serta taman dengan berbagai bunga yang terhampar luas. Lian tertegun, sedikit tidak menyangka dan baru menyadari bahwa ruang dimensi ciptaannya ternyata seindah ini.
Selain itu, Lian bisa merasakan embus angin nan sejuk menggelitik kulit lehernya. Sekarang Lian berpikir apakah ia benar-benar sedang berada di dalam kekuatan miliknya ataukah ini pemandangan asli?
"Ah ...." Lian menggeleng-gelengkan kepala. Karena terlena, ia hampir melupakan tujuan utamanya ke sini.
"Carl!" panggil Lian, tetapi tidak ada balasan dari sang empu nama. Kemudian, lelaki yang mengenakan sweter biru itu berjalan di antara taman bunga dandelion dan aster. Kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan orang lain di ruang ini.
"Ada apa, Xi Arelian? Kau berisik, tahu!" Gerutuan yang terdengar tidak asing itu tertangkap oleh indra pendengaran Lian. Senyumnya seketika merekah.
Sebuah kepala dengan rambut pirang melongok dari balik pohon berbatang besar. Headphone putih di kepalanya membuat Lian yakin bahwa orang itu adalah Carl. Yah ... lagi pula, siapa lagi orang yang ada di sini?
Lian berlari kecil menuju pohon itu. Di balik pohon, Carl sedang bersandar sembari mendengarkan lagu dari headphone putih itu. Carl melepas benda yang menyimpan telinganya itu ketika Lian datang dan berdiri berhadapan dengannya.
"Sepertinya kamu betah berada di sini." Lian menyunggingkan senyum tipis.
"Yeah, kurasa aku lebih nyaman di sini daripada dunia nyata yang kacau. Tempat buatanmu tidak hanya indah, tapi juga tenang dan nyaman." Meski Carl berkata begitu, ia melempar pandangan ke arah lain seakan tidak mau menatap wajah Lian.
"Tadinya aku kesal karena kau tiba-tiba mengirimku ke dimensimu, tapi setelah tahu ada dunia seindah ini, kau kumaafkan."
Lian tertawa pelan. "Baguslah kalau gitu. Omong-omong, kamu pernah ketemu orang lain di sini?"
Carl mengerutkan kening. "Orang lain?"
"Iya, kayak ... Tine misalnya?"
Begitu nama Tine terucap, pupil Carl membulat. Ia bahkan sampai menegakkan punggung.
"Tine? Senior ada di sini?!" tanyanya dengan nada tinggi.
"Oh, enggak berarti," bisik Lian kepada dirinya sendiri.
"Hei, Xi! Jawab aku!" Carl sedikit merangkak menghampiri Lian dan menggenggam kedua pergelangan tangan lelaki pengendali ruang dan waktu itu.
"Aku bertanya karena aku enggak tahu. Kalau kamu enggak pernah ketemu siapa pun di sini berarti dia enggak ada di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue String - END (Segera Terbit)
FantasySetiap orang memiliki benang merah takdir di jari kelingking yang menghubungkan seseorang dengan jodoh masing-masing. Benang merah itu tak dapat dilihat, kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melihatnya. Itulah yang diceritakan mama Zal...