38 • taksa lain pun juga ikut bertarung.

79 11 149
                                    

"Akhirnya! Selamat datang kembali, Zaline Syah!"

Aku dan Lian yang awalnya menaruh atensi pada Andre spontan mencari-cari asal suara yang ternyata ada di sudut kiri ruangan. Aku membenarkan kacamata dan sedikit memicing.

Laki-laki berambut ungu. Pakaiannya yang bersetelan putih membuatku menebak-nebak mungkin saja dia orang kaya. Tapi yang aneh, di lehernya melingkar sesuatu seperti ... sulur? Warnanya hijau dan berukuran besar. Kupikir itu jenis sulur yang sama seperti sulur yang mengikat Kak Andre. Tapi kemudian aku baru menyadari bahwa dia adalah Leon, taksa yang dibicarakan Lian sebelumnya.

Aku baru saja hendak membuka mulut, tapi Lian langsung selangkah maju di depanku sambil merentangkan satu tangannya, seakan menghalangi orang itu untuk menyentuhku.

"Li ...." Aku menepuk bahu kiri Lian sambil menggeleng. Kemudian, meski dengan ragu, aku melangkah maju. "Apakah Anda yang mengirim surat itu pada saya?"

"Secara teknis, ya. Aku juru tulis surat itu. Syukurlah kalau surat yang kutulis sampai padamu dengan selamat." Laki-laki berambut ungu yang kelihatan norak itu terkekeh-kekeh. Suara tawanya seperti seirama dengan bunyi ketukan sepatunya yang melangkah mendekati kami.

"Kami senang, akhirnya putri Zahian datang dengan sendirinya. Tidak sabar melihat ayahmu, hm?" Dia bertanya sambil merentangkan tangan lebar-lebar, dengan kekehan yang enggak enak didengar.

Sumpah, demi apa pun, aku enggak suka dia!

"Bisa cepat katakan saja Papa ada di mana?" Aku bersedekap, menatapnya tajam.

"Buru-buru sekali!" Leon menggeleng-geleng.

Kemudian, dia mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi dan menjentikkan jari hingga sesuatu berbentuk oval berukuran besar tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah ruangan. Tapi yang mengejutkan kami, ada seseorang yang terduduk lesu dengan kedua tangan dan kaki terbelenggu rantai. Dia mengenakan jubah hitam kebesaran. Aku enggak bisa melihat wajahnya begitu jelas karena tertutupi tudung hitam. Apalagi dia juga menunduk.

"Biar kuperkenalkan dia secara resmi, Zaline ... juga Xi Lian." Leon melirikku dan Lian bergantian, sementara kami justru menatapnya waswas.

"Dia adalah 'J', salah satu dari tiga pilar Onyx yang tersembunyi. Identitas aslinya adalah Zahian Syah, seorang 'Detektor' terkuat yang keberadaannya di dunia taksa raib. Sayangnya, J adalah pengkhianat. Begitu pula dengan pemuda yang ada di sana. Diam-diam bekerja untuk Emil dengan membocorkan informasi dari dalam." Leon menjelaskan dengan nada bercampur-campur, tapi aku bisa mendengar kebencian pada tiga kalimat terakhirnya. Enggak cuma untuk Zah—maksudku, Papa, tapi dia juga menunjuk Kak Andre waktu bilang 'pemuda yang di sana'.

"Namun, kami sangat bersyukur karena dengan kehadiranmu di markas kami beberapa hari lalu, kami bisa menguak rahasia yang disembunyikannya. Kami sangat berterima kasih, Zaline."

Senyuman yang ditunjukkan Leon makin membuatku muak. Aku ingin banget menonjok wajahnya, sekali saja. Lebih juga enggak apa-apa. Tapi kalimat terakhirnya membuatku enggak berkutik, sedikit banyak enggak percaya. Bukannya itu berarti Papa tertangkap karena aku?

"Zal, enggak perlu merasa bersalah." Lian berujar dengan suara perlan. Aku menoleh ketika jemari lelaki itu menggenggam tanganku erat. "Kalau ada orang yang harus disalahkan, itu adalah aku. Maaf—aduh! Sakit, Zal!"

Lian meringis tertahan waktu aku menginjak kakinya. Enak saja dia bilang begitu.

"Li, aku punya rencana," bisikku tanpa memedulikan rintihannya.

"Apa?" Dia mendekatkan kepalanya.

Aku melirik senapan yang digenggam Lian. "Bisa kamu tembak sulur yang menjerat Kak Andre?"

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang