19 • kuharap sejak awal aku enggak terlibat. • arc 3 end

134 24 77
                                    

Sumpah, aku benaran lagi enggak pengin ketemu dengan siapa-siapa selain Lian, Abby, atau Lux sekarang ini. Dan sekarang, Tuhan malah mengirimiku seorang lelaki berengsek bernama Ahn Donhee!

"Kak Donhee, kenapa Kakak bisa ada di sini?" tanyaku, pura-pura enggak tahu.

"Aku sedang ada kunjungan ke Mesir, lalu mampir ke Sahara. Kamu sendiri bagaimana, Zaline? Kenapa bisa ada di sini?"  Dia malah balas bertanya dengan senyum sus-nya itu sambil melangkah mendekatiku.

Aku refleks berjalan mundur sampai enggak sadar menubruk dinding yang terdapat celah tempat aku keluar tadi. Sial, orang ini benar-benar menyudutkanku.

"Aku juga sedang jalan-jalan ke Sahara!" balasku kehabisan akal.

Tapi, Donhee malah terkekeh. "Kamu payah membuat alasan, Zaline."

"Bukankah Kakak yang jauh lebih payah?" Aku memicing. Lalu, buru-buru aku melanjutkan, "Payah membuat alasan, maksudku."

Hampir saja aku salah bicara. Sekarang ini aku benar-benar terpojok. Aku enggak tahu apa yang ingin dia lakukan, tapi aku tahu hampir enggak punya kesempatan untuk melawan. Aku bisa sedikit karate dan aikido sih, tapi aku juga enggak tahu apakah kemampuan ini berguna untuk melawan seorang telekinesis.

"Aku tidak berbohong kok?"

"Kakak mau apa?!" Aku memekik saat dia malah tambah mendekat, hanya berjarak kira-kira setengah meter di hadapanku.

"Oh, tenang, Zaline. Aku tidak akan berbuat apa-apa." Tangan kanan Donhee terangkat dan nyaris menyentuh wajahku. Tapi aku yang tidak suka disentuh refleks mengunci lengannya dan membantingnya hingga wajah rupawan itu mencium pasir. Enggak menyia-nyiakan kesempatan, aku segera melewatinya dan berlari menuju utara. Namun, baru beberapa meter aku melangkah, aku merasakan tubuhku seperti terangkat; melayang. Detik selanjutnya, tubuhku terhempas dengan kepala membentur sesuatu yang keras seperti batu.

Belum sempat aku meringis atas perih yang kurasakan, lagi-lagi tubuhku melayang beberapa senti di atas tanah. Dengan pandangan buram, aku melihat Ahn Donhee yang sudah bangkit sembari mengulurkan tangan kanannya ke arahku.

"Beraninya kamu!" Meski samar, aku dapat melihat sorot matanya yang tajam terarah padaku. Suara Donhee yang seharusnya memekik teredam oleh bedebum kencang di belakangnya.

Ah, Madre. Bagaimana keadaannya? Apakah dia berhasil melawan para Onyx itu dan menang?

"Hahahah." Aku tertawa pelan. Bisa-bisanya aku masih memikirkan orang lain di saat nyawaku saja dalam bahaya. Aku yakin sekali kepalaku bocor setelah berbenturan dengan sebuah batu besar.

"Apa yang kamu tertawakan, Zaline?" Donhee sepertinya emosi. Tapi aku mengabaikannya.

"Di mana Aerika?"

Lagi-lagi, aku masih memikirkan orang lain. Entah kenapa pikiranku tiba-tiba tertuju pada Aerika. Semoga sahabatku itu enggak kenapa-kenapa.

"Dia ada di Indonesia."

"Tapi, dia baik-baik saja, kan?"

"Tentu saja. Dia mungkin sedang berada di rumahnya sekarang." Donhee menjawab dengan ketus.

Aku mengembuskan napas lega. Syukurlah. Setidaknya Aerika baik-baik saja. Aku enggak ingin Aerika terlibat dengan para taksa, apalagi Onyx.

"Kakak mau apakan aku?" tanyaku dengan suara patah-patah.

"Dengar, Zaline. Aku tahu, kamu sebenarnya tahu apa yang terjadi dari Madre. Kamu tahu siapa kami, dan kami juga tahu siapa dirimu. Selama kamu menurut saja dan ikut denganku, kamu akan baik-baik saja. Kamu tidak perlu terluka dan bertarung seperti bibi merepotkan itu."

Tanpa sadar, aku malah tertawa lagi. "Aku enggak percaya."

Lalu tubuhku diangkat lebih tinggi. "Peringatan terakhir, Zaline. Aku bisa saja menghempaskan atau membantingmu dari ketinggian itu. Jawab ya atau sadar tidak sadar, aku harus membawamu paksa."

Rahangku mengeras, gigiku bergemeletuk. Aku ingin sekali melawan orang ini! Andai aku punya kemampuan seperti Lian atau minimal Abby ... setidaknya aku bisa sedikit melawan dan bukannya menjadi enggak berguna kayak begini.

"Setelah apa yang kalian lakukan padaku? Maaf, aku enggak sudi!"

Aku tahu balasanku ini cari mati. Tapi aku sungguh enggak mau menuruti apa kata-katanya meski aku dibayar sepuluh miliar pun.

"Kalau begitu ...."

Donhee makin mengangkatku tinggi. Aku ingin berteriak, tapi enggak bisa. Tenggorokanku tercekat. Kepalaku juga masih sakit akibat benturan tadi.

"Tolong ... jangan ...."

Percuma, lirihanku enggak didengarnya. Begitu kulihat ia mengibaskan tangan ke samping, tubuhku terlempar mengikuti arah gerak tangannya. Lagi-lagi tubuhku membentur sesuatu. Kali ini lebih kencang sampai aku merasa tulang rusukku retak. Darah segar memuncrat dari mulutku, membuat bau besi nan amis tercium.

Sakit ... aku ingin menangis. Aku ingin pulang saja, bertemu Mama dan Zaina, menjalani kehidupan sebagai remaja SMA biasa, bukannya incaran para taksa sinting kayak begini!

Sekarang, aku terkapar di pasir. Hanya beberapa detik karena setelahnya Donhee kembali membuat tubuhku melayang. Telingaku mendadak seperti tuli. Suara bedebum sudah enggak terdengar lagi. Ke mana, Madre? Apa dia sudah selesai? Ataukah dia justru kalah?

Aku memejam, sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi berikutnya. Namun, beberapa saat kemudian, tubuhku malah terjatuh dan terkapar. Dengan pandangan samar, aku melihat seorang gadis yang tampak enggak asing muncul di hadapan Donhee dan menendang dagunya hingga lelaki itu jatuh tersungkur. Entah mataku yang salah lihat atau bagaimana, dia lalu muncul tepat di depanku sambil mengulurkan tangan. Kemudian, kepalaku terasa pusing lagi dan semuanya gelap.

- arc ketiga selesai -

***

HAHAHAHA aku puas banget.

Aduh, maapkan mamamu ini Zaline :')

Next, arc keempat akan dimulai. Ketegangan akan semakin berasa dan seru!

—Zu

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang