18 • Tine, si peniru dan pembuat onar.

147 23 56
                                    

Namaku Tinelias.

Sejak kecil, aku tinggal di lingkungan di mana orang-orang punya kemampuan super. Ada yang bisa menghilang, menggerakkan benda, mengendalikan pikiran, berbicara dengan alam, bahkan melihat masa depan.

Aku sendiri tidak punya kemampuan seperti mereka. Karena itu aku dirundung habis-habisan. Mereka bilang aku payah, lemah, dan tidak bisa diandalkan. Apa yang mau kau harapkan dari anak sepuluh tahun yang tidak punya kemampuan sepertiku?

Orang tuaku sudah tiada—ah, tidak. Sebenarnya aku memiliki seorang ayah. Tapi entah ada di mana dia. Aku tidak tahu apakah ayahku punya kemampuan atau tidak, seperti aku. Sedangkan ibuku, katanya punya kemampuan menyembuh yang hebat. Sayangnya beliau meninggal setelah melahirkanku. Padahal ibuku punya kemampuan ... tapi kenapa hanya aku di desa ini yang tidak punya kemampuan? Menyedihkan, bukan?

Apa aku ini bukan manusia, sampai-sampai mereka merundungku sedemikian rupa? Apakah seharusnya semua manusia memiliki kemampuan?

"Payah!"

"Lemah!"

"Kulitmu gelap sekali! Menjijikan!"

Bahkan fisikku dianggap sesuatu yang buruk di desa ini.

"Rambutmu dipendekkan? Kau ini laki-laki atau perempuan, sih!"

"Kalau pendek, kan, berarti laki-laki!"

Karena ada anak sialan yang menganggapku laki-laki, aku jadi semakin gencar dirundung. Apalagi oleh Meza, anak kepala desa.

"Dasar lemah! Kau tidak pantas ada di sini! Kau aib untuk desa ini!"

Meza yang memiliki kemampuan pengendali mengempaskanku hingga menabrak bebatuan besar di pinggir pantai. Kepalaku perih sekali. Pandanganku buram. Tiba-tiba aku merasa tubuhku melayang. Seakan belum puas melihatku babak belur, Meza menghantamkanku ke tanah hingga wajahku cemong oleh butiran pasir yang menempel di bercak merah.

Meza mengangkat tubuhku. Aku yang lemas karena kesakitan tidak bisa melawan. Kulirik beberapa orang yang menonton. Ada beberapa pria dewasa dan anak perempuan. Wajah mereka terlihat iba. Namun, tak satu pun dari mereka yang bergerak untuk membantuku.

Diam-diam aku terkekeh pelan. Apa karena itu adalah Meza, anak kepala desa dan pemilik kemampuan terhebat di desa ini jadi mereka takut?

"Para warga setuju untuk membuangmu. Kau tak pantas berada di desa ini, dasar sampah! Aib! Manusia lemah!"

Setelah itu, ia menghantamkan tubuhku kuat-kuat ke bebatuan tadi, hingga kepalaku terbentur keras dan aku bisa mencium bau besi yang kuat. Aku memegang kening, lantas menyibak poni. Cairan kental nan amis menyelimuti telapak tanganku. Aku menatap datar. Entah sejak kapan aku jadi terbiasa dengan warna merah dan bau karat.

"Hahaha, kau terlalu keras padanya, Meza!"

"Lihat anak itu! Dia sampai berdarah karenamu hahaha!"

"Kalau dia mati bagaimana?" Pertanyaan ini mungkin terlihat khawatir, tetapi percayalah, nadanya sama sekali tak terdengar iba maupun mengkhawatirkanku. Dia bahkan mengakhirinya dengan tawa.

Anak-anak sialan. Suatu saat aku pasti akan membalas kalian, juga para pemilik kekuatan!

"Kau kesal, Nak?"

Siapa, sih? Saat ini aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun! Meski demikian, aku tetap mendongak sambil menahan perih di kepala. Seorang pria, mengenakan baju kebesaran warna merah. Kulit wajahnya putih sekali. Sepertinya dia bukan berasal dari sini. Penampilannya juga ... aku tidak pernah melihatnya.

"Paman siapa?" Aku mencoba bertanya meski napasku tercekat.

"Aku hanya pengelana yang singgah di sini." Dia melangkah, lalu berhenti di hadapanku, membantuku berdiri. "Sepertinya kau butuh bantuan, Nak."

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang