2 • laki-laki dengan benang biru.

336 78 178
                                    

"Kemampuan ... untuk menghentikan waktu? Yang seperti itu benaran ada?" Aku menggumam, masih setengah enggak percaya dengan kata-katanya barusan.

"Sulit dipercaya, tapi begitulah. Kamu orang pertama selain mereka yang tahu tentang kekuatanku, omong-omong."

Selain mereka?

"Bohong." Aku menggeleng tegas.

"Ih, enggak percayaan." Lelaki itu bersedekap, hidungnya kembang kempis. "Nah, sekarang giliranmu menjelaskan."

Aku mengerucutkan bibir. "Reaksiku itu normal banget, tahu?" cibirku. "Aku juga enggak tahu kenapa aku enggak terpengaruh kekuatanmu. Soal benang itu ... pokoknya ada. Terlilit di jari telunjuk kiri dan terjulur ke langit, warnanya biru. Kamu enggak bisa lihat?"

Dia menggeleng, lalu segera melihat jari telunjuknya. "Enggak ada apa-apa."

Apa benar cuma aku yang bisa melihatnya?

"Selain aku, apa kamu pernah melihat benang biru di jari telunjuk orang lain?"

Aku mengangguk. "Kadang-kadang, terakhir melihatnya enam bulan lalu."

"Sepertinya kamu juga punya kemampuan aneh."

"Entahlah." Aku mengangkat bahu, lalu menatapnya. "Oh, ya, bagaimana orang-orang di stasiun?"

"Mereka akan melupakan kejadian tadi."

"Lalu, bagian kamu hampir tertabrak kereta tadi?"

"Seakan enggak ada."

"Hebat, ya. Enaknya punya kekuatan seperti itu."

Aku jadi membayangkan kalau aku dapat menghentikan waktu. Aku jadi enggak perlu repot-repot lari-larian kalau telat berangkat sekolah dan dihukum hormat bendera.

"Enggak juga."

Rautnya seketika berubah. Ada rasa sakit yang tersirat di dalamnya. Entah kenapa aku jadi merasa bersalah.

Dia lalu menatapku dari atas sampai bawah, seperti mengamati tubuhku.

Aku mendelik ganas. "Ngapain?"

"Ah, enggak. Kayaknya, besok kita akan bertemu."

Aku menatapnya aneh. "Jangan-jangan kamu juga peramal?"

"Bukan kok!"

Saat itu, aku enggak paham dengan kata-katanya. Tapi sekarang, akhirnya aku mengerti. Ternyata ... laki-laki itu juga satu sekolah denganku!

"Zal? Hei!"

Aku segera tersadar.

"Oit." Aku menoleh, mendapati Aerika yang menatapku kesal.

"Bengong mulu. Mana lihatin cowok itu terus lagi. Naksir, ya?" katanya dengan nada menggoda.

Aku langsung menggeleng tegas. "Enak saja! Dih, amit-amit."

Rasanya aku jadi kesal. Jujur saja, aku masih sebal dengan kejadian dua hari lalu saat laki-laki itu pelanga-pelango, padahal hampir tertabrak kereta.

Laki-laki itu? Iya.

Aku kaget setengah mati saat tahu dia juga sekolah di sini. Awalnya kukira dia cuma lewat atau apalah. Atau mungkin punya kenalan yang sekolah di sini. Tapi, dia memakai seragam sekolahku. Jelas dia juga sekolah di sini. Masalahnya, kok aku bisa enggak tahu ada murid kayak dia?

Sumpah! Soalnya aku enggak pernah melihatnya sekali pun!

"Eh, Rik, kamu tahu cowok itu enggak?"

"Yang dari tadi kamu lihatin?"

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang