1 • bukan benang merah takdir.

722 93 300
                                    

Pernah dengar tentang benang merah takdir? Namanya red string. Katanya, setiap orang memiliki benang merah di jari kelingking yang menghubungkannya dengan jodoh masing-masing. Benang merah itu enggak bisa dilihat, kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melihatnya.

Kamu percaya itu?

Aku sih enggak. Itu cuma takhayul. Tapi, enggak dengan Mama. Mama begitu memercayainya. Mama-lah yang selalu menceritakan takhayul tentang benang merah itu padaku sejak kecil sebagai dongeng pengantar tidur sampai-sampai aku bosan mendengarnya.

Aku enggak tahu kenapa Mama begitu memercayainya. Kata Mama, takhayul tentang benang merah ini sudah turun temurun diceritakan dari uyutku. Aku jadi curiga keluarga Mama punya kemampuan buat melihat benang merah. Soalnya, aku juga punya.

Bedanya, bukan benang merah seperti yang Mama ceritakan yang biasa kulihat, melainkan benang biru yang melingkar di jari telunjuk kiri. Dan lagi, enggak setiap orang memilikinya.

Aku mulai bisa melihatnya saat berumur enam tahun. Awalnya aku pikir itu hanya halusinasiku saja. Tapi, halusinasi mana yang bertahan sampai bertahun-tahun lamanya? Di mataku, benang itu terasa seperti benda nyata.

Jika Mama bilang benang merah bentuknya kusut, benang biru yang kulihat justru sangat halus. Bukan menghubungkan antara manusia yang satu dengan yang lain, melainkan ujungnya tidak terlihat. Kupikir benang biru itu enggak punya ujung karena terjulur tinggi hingga ke langit.

Aku sudah lama enggak melihat seseorang dengan benang biru di jari telunjuknya. Terakhir kali mungkin enam bulan lalu? Rasanya seperti menemukan manusia langka. Jangan heran aku bisa jingkrak-jingkrak kalau melihat seseorang dengan benang biru seperti—SEPERTI ITU!

Oh! Oh! Kupikir tadi aku salah lihat, ternyata laki-laki itu benar-benar memiliki benang biru di jari telunjuk kirinya!

Aku hampir saja memekik kalau enggak buru-buru menutup mulut dengan telapak tangan. Perhatian orang-orang di sekitar stasiun seketika tertuju padaku sampai-sampai seorang pria berseragam menghampiriku. Aduh, bisa-bisanya aku lupa sekarang ada di stasiun.

"Ada apa, Dik?" tanya petugas stasiun ikut panik.

"Eh, eng-enggak apa-apa, Pak. Maafkan saya," ujarku sambil membungkukkan badan.

"Saya kira ada apa. Kalau begitu, hati-hati, ya, Dik." Dia menatapku aneh, sebelum kembali memberi arahan pada penumpang.

Aku mengedarkan pandangan. Untunglah laki-laki dengan benang biru itu masih ada. Dia sedang berdiri di peron seberang. Aku enggak bisa melihat rupanya dengan jelas karena hoodie hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket, tapi benang biru yang timbul dari saku kiri terjulur tinggi hingga ke langit.

Tatapanku enggak bisa lepas dari laki-laki itu. Bahkan saat dia hendak menyeberang—hah menyeberang?! ITU ADA KERETA, BODOH!

"Hei, kamu! Menyingkir dari situ!" peringatku dengan suara sekencang mungkin, yang tampaknya teredam oleh suara teriakan orang-orang. Aku panik setengah mati. Terlebih kereta dari yang datang dari arah timur mulai melaju!

Tapi, dia enggak mengindahkan teriakan orang-orang dan tetap melangkah dengan santai. Aku yakin telinganya tersumbat headphone atau apalah—dia sama sekali enggak mendengar!

"HEI!" Aku tetap berteriak, meski dia mungkin enggak akan mendengar. Hingga
sepermili detik, kereta itu benar-benar sudah berada di hadapannya. Aku refleks memejam, enggak mampu melihat seseorang mati mengenaskan dengan mata telanjang.

Namun, beberapa saat kemudian, aku enggak mendengar suara gaduh apa pun. Aneh sekali rasanya. Aku pun memberanikan diri membuka mata. Tapi, apa yang kulihat justru membuat mataku membulat.

Blue String - END (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang