Setelah mereka berempat mengajakku ke ruangan sebelah untuk melihat kondisi Lux dan Lian, aku enggak tahu kondisi mereka bakal separah ini selama aku enggak ada!
"Zaline, sadarlah. Kondisimu enggak kalah parah, tahu." Tiba-tiba saja Fae menyeletuk dan hal itu membuatku spontan terlonjak.
Ah, benar-benar deh. Meski sudah setengah hari di sini dan berkali-kali mendengar Fae menjawab batinanku, tetap saja rasanya aku enggak terbiasa. Eh, tapi bukannya ini namanya pelanggaran privasi?
"Ya maaf, kekuatanku memang begini dari sananya." Lagi-lagi dia menyeletuk.
Oke, haruskah aku benar-benar diam?
"Jangan baca pikiran orang sembarangan, Fae. Kasihan Zaline." Aku menoleh pada Andre dan mengangguk setuju. Sekarang kami berlima sedang berjalan menuju sebuah ruangan bawah tanah. Mereka enggak menjawab saat aku bertanya. Jadi aku ikut saja.
Fae memutar bola mata sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Oke, oke. Maafkan aku."
Kemudian, suasana hening melanda. Fae sudah enggak lagi menjawab batinanku. Apa dia bisa mengendalikan kapan dan kepada siapa dia membaca pikiran?
"Benar."
Rautku berubah datar.
"Eh, maaf. Yang tadi benaran refleks. Habisnya aku gabut karena suasananya sepi."
"Enggak manuk akal," cibirku kesal.
"Zaline, kamu tunggu sini." Andre berkata saat kami berhenti di depan sebuah pintu kayu yang tampak reyot. Kayaknya sudah sampai.
"Kami akan masuk ke dalam. Kamu tunggu di sini. Cuma sebentar kok," timpal Kak Rayhan.
Aku mengerjap. "Eh, terus? Aku harus apa?"
"Tenang saja, kamu enggak perlu ngapa-ngapain! Cukup diam di sana, oke?" Chika menggenggam kenop, lalu membuka pintu.
Aku enggak bisa melihat dengan jelas ruangan itu kayak apa. Yang jelas, dindingnya bercat putih dengan beberapa bagian sudah mengelupas. Lantainya tampak hanya tanah biasa, tapi berwarna abu-abu. Lalu, kalau aku enggak salah tangkap, ada seseorang yang duduk di sebuah kursi di tengah-tengah ruangan. Hanya itu yang aku lihat sebelum mereka berempat masuk ke ruangan dan pintu ditutup lagi.
"Jangan lihat dan jangan ikut campur." Itu kata-kata Fae sebelum pintu ruangan benar-benar ditutup dan dikunci.
Ih, kenapa aku enggak boleh lihat, sih? Apa ini rahasia mereka? Tapi orang di tengah ruangan itu siapa? Aku enggak yakin kondisinya baik.
Masa bodoh, lah. Aku lagi malas berpikir.
Aku lalu berjongkok di sisi kiri pintu. Sekarang aku benar-benar baru memikirkan dan merenungkan apa saja yang terjadi dalam dua hari terakhir selama aku menghilang—katanya.
Pertama-tama, dua malam lalu, aku diculik oleh Lian dan Master Emil jadi-jadian yang ternyata adalah Ahn Donhee dan Tine, dua pilar Onyx yang menyamar. Kemudian, aku dibawa ke markas Onyx di Gurun Sahara (jauh benar, sumpah) dan ditahan selama semalam saja di sana karena aku berhasil melarikan diri.
Sebelumnya, mulanya Abby sempat menghubungi Madre untuk meminta bantuannya. Beruntung aku bertemu Madre di luar markas dan wanita itu membawaku ke rumahnya.
Di sisi lain, Lian dan Master Emil yang asli ditangkap. Lian disandera Tine dan Master Emil entah dibawa ke mana. Abby, Lux, Fae, dan Andre menemukan Lian terikat di rumah Tine. Tapi di sini, Lux terluka karena ulah Tine. Lalu mereka Lian, Andre, Fae, dan Chika bertarung melawan Tine, sedangkan Abby membawa Lux ke markas.
Lalu, Abby pergi ke Sahara untuk menyelamatkanku dan Madre dari Ahn Donhee. Sayangnya, aku sudah terlebih dulu bertemu Donhee dan disiksanya. Beruntung Abby datang tepat sebelum Donhee menyiksaku lebih parah. Dia membawaku ke markas, kemudian kembali ke Sahara untuk menyelamatkan Madre dan sampai sekarang belum kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue String - END (Segera Terbit)
FantasySetiap orang memiliki benang merah takdir di jari kelingking yang menghubungkan seseorang dengan jodoh masing-masing. Benang merah itu tak dapat dilihat, kecuali bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melihatnya. Itulah yang diceritakan mama Zal...