Bersinar kau bagai cahaya, yang selalu beri ku penerangan
Selembut sutra kasihmu kan selalu ku rasa dalam suka & duka
Kau lah ibuku, cinta kasihku, pengorbananmu tak kan pernah terganti
Kau bagai matahari yang selalu bersinar
Sinari hidupku dengan kehangatanmu(Haddad Alwi-ibu)
Lagu menyentuh itu mengalun tenang dari earphone yang menyumpal kedua telinganya.
Laki-laki yang berjalan dengan kedua tangan masuk ke dalam saku hoodie itu sesekali melirik deretan toko yang berjajar rapi di sebelah kirinya. Sebenarnya ia sendiri tak tahu toko apa yang harus ia datangi malam-malam begini. Karena ini memang bukan dunianya. Tapi apalah daya, daripada ia membiarkan laki-laki lain melihat privasi gadisnya, lebih baik ia menahan rasa malunya untuk sementara waktu.
Ia hanya berdo'a, semoga tak ada seorangpun yang mengenalnya di sini.
Lagu tentang ibu itu masih terus mengalun. Mengingatkannya pada sang ibu. Mengingatkannya untuk menghargai perempuan sebagaimana ia menghormati ibunya.
Ia terus menjaga pikirannya. Menahannya agar tetap dalam batas wajar. Tak semakin liar.
Karena Aldejune adalah laki-laki normal yang sedikit banyak akan merespon jika dihadapkan dengan urusan wanita.
Apalagi tugas yang Kun limpahkan padanya kali ini lumayan berat.
Lebih baik ia dihadapkan dengan 100 lembar rumus fisika, daripada harus melihat berbagai versi pakaian dalam wanita. Setidaknya, pikirannya akan jauh lebih waras jika berurusan dengan rumus daripada wanita.
Tapi kembali lagi seperti diawal, Aldejune tak rela jika privasi gadisnya dilihat apalagi disentuh laki-laki lain.
Tiba-tiba matanya menangkap sebuah toko yang menjual pembalut berbagai merek dan model yang terpajang sebagian dikaca depan toko.
Aldejune menguatkan imannya. Membentengi mata dan pikirannya. Laki-laki itu memantapkan diri memasuki toko dengan tema super feminim itu.
Bau pengharum ruangan menyapa penciuman Aldejune. Mata tajamnya menyisir seluruh toko. Batinnya bersyukur karena toko ini lumayan sepi.
Lagipula, siapa yang malam-malam ke mall hanya untuk membeli pembalut?
Jawabannya, Aldejune.
"Shit! " Laki-laki itu membenarkan tudung hoodienya yang agak melorot.
Ia berjalan cepat ke arah rak pembalut yang terlihat dari tempatnya berdiri. Aldejune bener-bener ingin merubuhkan rak di hadapannya sekarang. Ternyata membeli pembalut tak semudah membeli roti selai di kantin sekolah.
"Butuh bantuan, mas? "
Suara ramah itu menarik perhatian Aldejune.
Dilihatnya seorang mbak-mbak pelayan toko tersenyum cerah kepadanya.
Seakan memahami kebingungan Aldejune, pelayan toko itu mulai beraksi.
"Mas cari pembalut yang gimana? Bersayap atau yang biasa? "
'Emang yang bersayap bisa dipakai terbang? ' Batin Aldejune.