ALDEJUNE 27

12 5 2
                                    

Matahari terlihat gusar dibalik pundak awan hitam. Sesekali mengintip pada gadis yang masih betah duduk berlama-lama di atas rerumputan. Matanya menerawang menatap langit. Bibirnya mengukir senyum. Langit yang ia pandang saat ini masih sama dengan yang ia pandang 10 tahun yang lalu. Hanya saja awan kapas itu yang berubah-ubah.

"Mama. " Panggilnya.

Tiba-tiba bibirnya cemberut dengan wajah kesal.

"Mama masih inget nggak sama cowok yang Nana ceritain kemarin? " Ucapnya menggebu.

"Si bunglon itu lho, Ma. Tadi tuh ya, ngeselin banget sumpah! Masa abis ngilang berhari-hari, tahu-tahu muncul, lagi senyum-senyuman sama cewek. Potek deh hati Nana Ma.. "

Gadis itu mengambil nafas sejenak. Baru saja terbakar emosi.

"Eh, tapi ya, Ma. Abis itu tuh si bunglon nyeret Nana ke rooftop, terus dipeluk sampe kaki Nana berdarah-darah! Nana ngefly, Mama.. "

Terlalu mendramatisir😒

"Terus ya, Ma, ya! Masa tadi dia ngoceh-ngocehin Nana gara-gara Nana ke kantin bareng Mark. Nggak jelas banget! Terus abis itu, si bunglon ngajak_ eh? Nggak, maksa Nana pulang bareng. Nana ya nolak dong, orang Nana bawa sepeda. Eh dianya masih maksa. Tapi, pas ada cewek lain dateng, terus ngajakin dia pulang, dia ham-hem aja Mama.. Aduh.. Sakitnya tuh kayak lihat Papa selingkuh di depan mata Mama sendiri. "

Mata Jenna melotot menyadari sesuatu.

"Lah? Anjim! Mulut gue! Mama! Mama maafin Nana. Jangan dimasukin hati ya, Ma. Nana cuma bercanda kok.. "

Jenna panik lantas menghadap sang Papa.

"Papa! Papa maafin Nana ya, Pa. Itu tadi Nana keceplosan. Bener-bener nggak bermaksud, Pa.. "

Gadis itu terduduk lemas.

"Ya udah deh.. Papa kutuk aja Nana jadi cantik, biar si bunglon makin sayang sama Nana. "

Suara cekikikan terdengar di akhir kalimatnya. Tanpa permisi, sesuatu yang ia coba tahan lolos jua.

"Mama, Papa, Nana kangen.. Nana kesepian banget kalo dirumah. Bang Revan sama tante Lydia juga, nggak pulang-pulang. "

Gadis itu bernafas melalui mulutnya. Terlalu sesak untuk dirinya yang tidak punya teman berbagi. Bukan tak ada perhatian. Hanya saja, ia selalu berpikir semua orang pasti punya masalah, jadi untuk apa ia membagi masalahnya? Toh, mereka sudah punya sendiri-sendiri. Jenna hanya ingin menjalani hidupnya dengan sederhana. Mengalir setenang mungkin. Ia bukan tipe orang yang merasa tertantang dengan masalah. Jenna rapuh. Bahkan saat otak warasnya teringat kelakuannya menantang Febby Gracia yang berakhir dirinya merepotkan Aldejune dan Kun. Gadis itu merasa itu bukan dirinya. Mungkin ia tengah kerasukan?

Jenna itu pengecut. Sebisa mungkin ia akan menghindar dari masalah. Kalaupun ia sudah terlanjur basah, hati kecilnya akan memaksa logika untuk berdamai. Walaupun resikonya ulu hatinya akan terhimpit sesak.

Jenna bukan gadis berhati mulia yang mudah memaafkan. Tapi ia akan memilih pura-pura memaafkan daripada memperpanjang masalah. Alasannya, Jenna tak punya pelukan untuk menyembunyikan air matanya.

Masih di posisi yang sama, Jenna menjepit hidungnya sembari mengedip-ngedipkan mata, berusaha untuk tidak menangis. Entah cara aneh itu ia pelajari dari mana. Seingat Jenna,ia mulai melakukan jurus jepit hidung itu saat ia menahan tangis setiap malam sejak kehilangan kedua orang tuanya.

"Jenna? "

Gadis mbeler itu menoleh.

Seseorang yang memanggilnya berdecak. "Gue kirain bukan orang. Ngapain lo mendung-mendung gini di tengah makam sendirian? "

ALDEJUNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang