Part 4

35.1K 2.1K 4
                                    

"Sering-sering pulang ya, Nak! Ayah nggak mau Sashi melupakan keberadaan ayah setelah kamu menikah." Damar berkata dengan suara lirih nan sendu.

Sashi sendiri hanya bisa tersenyum lemah melihat ketidakberdayaan sang ayah. Walau bagaimanapun pagi ini sudah menjadi kesepakatan Sashi dan sang suami akan pindah di kediaman rumah baru mereka. Tentunya sebagai istri, Sashi harus mengikuti suaminya di manapun berada. Namun, akibat kepindahan gadis itu, Damar yang paling merasa sedih dan tersakiti. Pria berusia 45 tahun itu sungguh belum rela berpisah dari putrinya.

Sashi menghela napas, dia menatap sekilas Jaxton yang sedang mengamati interaksi dirinya dan sang ayah. Meski berat, tapi Sashi berjanji akan sering mengunjungi Damar.

Dengan langkah gontai, Sashi merengkuh tubuh tegap ayahnya. Damar itu meski sudah berumur tetap terlihat tampan dan gagah. Dan Sashi ingin Damar fokus mencari istri agar nanti ayahnya ada yang menemani.

"Jangan sedih gitu dong, Yah. Sashi kan cuma pindah tempat tidur aja. Lagian nggak jauh, satu jam juga sampai. Sashi janji setiap seminggu sekali nginep di rumah ayah." Janji gadis itu dengan yakin. Dia benar-benar memberi Damar kesempatan agar mencari pendamping baru.

Mau tak mau, Damar merasa lega. Dia tersenyum lalu mengelus lembut puncak kepala anaknya. "Jadilah istri yang baik. Jika ada apa-apa jangan sungkan ngomong sama Ayah."

Sashi pun mengangguk lalu melepas pelukan itu. "Akan Sashi ingat semua Saran, Ayah. Jadi, jangan khawatir."

Damar hanya tersenyum singkat, tak lama tatapannya beralih ke sang menantu. Sejujurnya jika Damar melihat Jaxton, ada rasa tak enak mengingat mereka berbeda derajatnya. Meski begitu, Damar berusaha yakin jika pria tampan dan kaya raya itu mampu membahagiakan putrinya.

"Jaga dan bimbing Sashi agar menjadi istri yang baik, Jaxton. Jangan sekali-kali kamu membentak atau memarahinya saat dia tidak pandai masak. Kamu hanya perlu mengajari dengan sabar. Sashi bukti cinta aku dan mendiang istriku satu-satunya." Damar berkata dengan syarat kasih sayang sebagai orangtua.

Sebagai lelaki sejati mestinya, Jaxton paham. Maka dari itu dia tidak ragu untuk menyanggupi permintaan mertuanya itu. Walau nantinya dia tidak yakin bisa membuat Sashi bahagia seperti yang diinginkan Damar sang mertua.

Sesudah berpamitan, baik Sashi dan Jaxton segera meluncur ke rumah baru mereka. Detik ketika Sashi memasuki mobil, perasaan Damar sangat tidak menentu sekali rasanya. Pasrah sekaligus cemas itulah yang dirasa. Sebab, bagi Damar Sashi masih terlalu dini untuk menjadi seorang istri.

***

Di dalam mobil, kedua pengantin baru tersebut duduk dan saling diam. Sang sopir yang menyetir sedikit heran melihat tingkah sang majikan. Meski begitu, sopir tersebut tidak berniat mengkorek hal apa yang terjadi. Sebab, itu bukan ranahnya sekali.

Jika Jaxton sibuk dengan tabletnya, Sashi asyik melihat pemandangan toko-toko yang berjejer lewat jendela samping. Sesungguhnya dia sedikit grogi berdekatan dengan Jaxton. Dia masih tidak menyangka dalam sekejap hidupnya berubah 180 derajat dari yang dikira.

Jaxton bukannya tidak menyadari jika gadis dengan eyeliner tebal itu terlihat gelisah. Tampak Sashi bolak-balik menggoyang-goyangkan kakinya. Belum lagi mulut komat-kamit Sashi ketika mengomentari apa saja hal yang dilihatnya dari sini.

Tak tahan akan sikap Sashi, pria berkemeja hitam itu menaruh kembali tabletnya. Sepertinya dalam kondisi seperti ini lebih baik dia tidak memikirkan pekerjaan.

"Kamu tidak menyesal kan?"

"Eh!" Sashi langsung mengalihkan pandangan dari kaca jendela lalu menatap bingung pria di sampingnya.

Mengetahui Sashi tak juga paham, Jaxton menghela napas pelan. Dia pun dengan sabar menyandarkan punggung ke kursi.

"Daritadi saya lihat kamu nggak bisa diam. Apa kamu cemas?" Meski pria itu berkata tidak menatap mata sang lawan jenis. Sashi yakin jika Jaxton menginginkan jawabannya segera.

"Om, sejujurnya Sashi bingung?" Aku gadis itu meremas jemarinya resah.

"Bingung?"

Sashi mengangguk. "Kok orangtua Om nggak marah saat tahu Sashi yang dinikahi? Bukannya Om udah punya pacar. Harusnya mama Sonia menolak Sashi dong."

Jaxton menarik sudut bibirnya sekilas. "Mungkin kamu terlihat memikat di mata mama saya."

"Eh, masa sih? Padahal kan Sashi cuma gadis biasa nggak ada apa-apanya jika dibandingkan pacar, Om." Sashi sedikit memelankan suara saat mengingat tidak hanya ada dia dan Jaxton di dalam mobil tersebut.

Mendengar ucapan tak masuk akal Sashi. Jaxton selaku pemeran utama hanya diam tak menanggapi. Bertepatan keadaan hening, mobil yang ditumpangi mereka berhenti tepat di depan rumah dua lantai dengan gaya modern dan elegan.

Begitu turun dari dalam mobil, mulut Sashi tak henti-hentinya berdecak kagum. Dia menatap antusias rumah yang akan ditinggalinya.

"Om, ini kapan belinya?" tanya Sashi sembari berjalan mengekori Jaxton.

"Dua hari yang lalu," jawabnya seraya membuka pintu.

Mereka langsung disambut dua pelayan wanita dengan ramah dan sopan. Secara tidak langsung, Jaxton tidak ingin Sashi yang membereskan rumah mereka.

"Wih, cepet amat kayak beli kacang goreng aja," gumam Sashi geleng-geleng kepala. Kira-kira jika nanti Sashi ingin punya mobil dibelikan tidak ya?

Setiba di lantai dua mereka berpisah, jika Sashi langsung menuju kamar utama diikuti kedua pelayan. Sementara Jaxton pergi entah kemana. Dan Sashi tidak peduli, saat ini yang paling utama dia akan menjelajahi rumah barunya.

"Wah, meja riasnya keren banget." Sashi terlihat girang sekali. Sepertinya Jaxton terniat sekali menikahinya? Buktinya pria itu tahu sesuatu kesukaan Sashi.

Ya, gadis itu memang mencintai peralatan make up. Itu mengapa dia ingin sekali memiliki meja rias mewah nan cantik dan juga kaca yang besar dan lebar.

Setelah puas melihat meja rias, kali ini Sashi hendak menuju ke walk in closet. Ternyata dua pelayan tersebut sedang sibuk menata barang-barang Sashi ke lemari pakaian. Walau tidak banyak, barang tersebut memiliki arti sendiri. Sebab, Damar yang membeli.

Sambil melihat-lihat, dengan ramah Sashi bertanya terhadap dua asisten rumah tangganya. Jika dilihat dari segi penampilan. Sashi yakin mereka berdua berumur sekitar 40-50 tahun.

"Yang boneka beruang nggak perlu dimasukin ke lemari, Bi. Itu biasanya aku bawa tidur."

"Baik, Nona." Pelayan dengan senyum manis itu beralih membuka kotak berisi perlengkapan sepatu sendal Sashi.

"Ngomong-ngomong kalian udah kerja lama sama keluarga om Jaxton?" tanya Sashi penasaran.

"Sebelumnya perkenalkan saya Rani dan ini Siti. Kami sudah bekerja lima tahun dengan keluarga Handoko."

Sashi manggut-manggut mendengarnya. "Oh. Semoga kalian betah ya di sini. Jangan sungkan-sungkan Sashi nggak gigit kok."

Bingung harus menanggapi apa akan candaan nonanya. Kedua asisten rumah tangga itu hanya mengangguk kaku.

Tak peduli akan respons mereka. Sashi kembali ke luar kamar untuk mencari sang suami. Ah, ngomong-ngomong di mana om Jaxton?

Merasa lelah berputar-putar di lantai dua. Gadis itu pun turun ke lantai satu. Sesaat dia mendengar suara Jaxton di teras samping. Dengan semangat Sashi menghampiri.

"Kamu jangan terlalu memaksakan diri, Swara. Saya di sini khawatir jika kamu kenapa-napa di sana."

Langkah Sashi memelan ketika mendengar suaminya berbicara via telepon dengan pelan seakan takut ada yang mendengar. Ada perasaan sedikit tak nyaman melihat Jaxton berbicara lembut sekali dengan orang itu. Ah, pasti itu pacarnya. Siapa tadi namanya? Swara? Sashi yakin pasti wanita itu cantik sekali.

"Nanti malam kita video call ya. Saya nggak mau ganggu kamu sekarang. Jaga diri baik-baik di sana."

"Iya saya jauh lebih mencintai kamu." Lanjut Jaxton tanpa menyadari jika perkataannya di dengar seseorang.

Tbc.

Spontaneous Wedding [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang