Suasana pemakaman kali ini tidak seperti biasa. Banyak manusia berpakaian hitam berlalu-lalang. Kabar wafatnya wanita tertinggi dari keluarga Handoko membuat banyak orang mengucapkan belasungkawa.
Bahkan sebelum mobil ambulans pembawa jenazah tiba, sudah ramai sekali pelayat berdatangan. Di mulai dari keluarga, kenalan, dan klien terdekat. Sementara pihak keluarga Handoko sendiri belum tampak batang hidungnya.
Hingga sampai pukul 10 pagi beberapa rombongan mobil mengiringi kedatangan ambulans. Di barisan para pelayat tampak Jaxton berjalan tegap, tetapi raut kesedihan sangat kentara di balik kacamata hitam yang dikenakannya.
Setelah semua keluarga berkumpul, jenajah tiba saatnya disemayamkan. Jaxton, Juan, dan Jasvir bertugas membantu menurunkan peti hitam itu ke dalam liang lahat. Di sisi lain, Sashi tengah dipeluk oleh sang ayah Damar. Walaupun gadis itu hanya pernah bertemu sekali. Namun, dia mengerti jika oma adalah wanita baik dan bijaksana ketika semasa hidupnya.
"Dia pasti bahagia di atas sana seperti ibumu," gumam Damar seraya mengelus punggung putrinya.
Sashi mengangguk pelan. Dia menatap sendu ke arah Jaxton yang sedang menguruk lubang dengan tanah. Setelah selesai, mereka pun berdoa bersama, berharap almarhumah oma diterima disisi-Nya.
Sonia langsung terduduk lemas dipegangi Safira. Ibu Jaxton tersebut terlihat terpuruk sekali. Mata sembab dan wajah pucatnya tak bisa membohongi. Tak lupa di sebelah Juan ada Jerry. Pemuda itu kelihatan menunduk tanpa ada mengeluarkan sepatah kata pun.
"Datangi suamimu. Dia pasti membutuhkanmu," ujar Damar melepas rengkuhan.
Meski sedikit kurang nyaman, akhirnya Sashi mengangguk lalu melangkah mendekati Jaxton yang sedang jongkok menatap makam omanya.
Dibelainya bahu Jaxton dengan lembut. Sejujurnya Sashi bingung harus berkata apa. Alhasil dia hanya ikut berjongkok di samping suaminya walau akan banyak mata memandangnya berbeda makna.
***
Pulang dari pemakaman, mobil yang ditumpangi Sashi menuju di kediaman rumah orang tua Jaxton. Saat ini Sashi terduduk diam di samping kemudi. Sebenarnya ada perasaan nyeri kala sedari tadi suaminya itu tak ada berbicara atau menatapnya.
Jika begini, Sashi merasa sedang bersama orang asing. Kenyataannya dia memang tidak mengenal jauh tentang om di sampingnya itu. Kebetulan saja dia bisa menikah meski hanya pernah bertemu beberapa kali. Oh, sungguh drama sekali hidup Sashi.
Namun, bukan Sashi namanya jika tidak pandai mengeluarkan topik pembicaraan. Gadis itu harus optimis untuk berpikir positif. Bisa jadi Jaxton masih bersedih.
"Om." Sashi menatap terang-terangan Jaxton yang sedang fokus mengemudi.
Masih fokus pada jalan. Jaxton berdehem pelan sebagai jawaban.
"Om, masih sedih ya?"
Terdengar helaan napas panjang pria itu. "Iya."
"Sama, Om. Aku juga sedih. Apalagi tempat pemakaman mengingatkan Sashi saat kepergian ibu. Padahal udah lima tahun kejadian itu. Tapi rasa sedihnya susah hilang sampai sekarang."
Mendengar ucapan polos dan terkesan tulus dari gadis itu, sejenak Jaxton merasa terpaku. Dia salah seakan merasa paling menyedihkan. Nyatanya Sashi jauh lebih menderita. Ditinggal pergi oleh seorang ibu untuk selama-lamanya bukanlah hal biasa. Dan Jaxton tidak mau membayangkan itu. Cukup omanya saja jangan mamanya.
"Sebenarnya sedih itu boleh aja kan, Om. Tapi nggak mungkin kan terus-terusan sedih. Sementara hidup terus berlalu. Kata ayah jalan hidupku nggak akan berhenti meski orang-orang terkasih akan pergi. Jadi, om harus semangat. Kan ada Sashi." Sashi berkata dengan senyum tulus terpasang di bibir tipisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spontaneous Wedding [REPOST]
RomanceBalasan diputus secara sepihak adalah menikahi paman sang mantan pacar.