Part 32

23.2K 1.1K 3
                                    

"Bagaimana bisa sekarat?" tanya Jaxton tak mengerti.

Safira yang sedang duduk menyandar di ruang tunggu mengembuskan napas panjang. "Entahlah, Jax. Akhir-akhir psikisnya memang tidak terkendali."

Terkadang Safira bingung, bagaimana bisa putranya tergeletak tak berdaya padahal baru  lima belas menit terkurung di gudang, sedangkan di bagian tubuh tak ada tanda luka yang sangat fatal.

Sebagai mantan, Sashi sangat sedih melihat kondisi Jerry meskipun terlepas dulu mantannya pernah menyakiti. Walau bagaimanapun Jerry sudah termasuk menjadi keluarga sendiri saat ini.

"Sira dan suamimu di mana?" Jaxton menatap penasaran ke arah kakaknya. Pasalnya, Safira hanya seorang diri menunggu Jerry di sini.

"Kamu kan tahu sendiri jika putriku itu sedikit sentimentil. Jadi, saat melihat Jerry digotong dia nangis kencang. Baru bisa ditenangkan ya sama Juan."

Tidak heran memang, sejak bayi Sira anak Safira yang berumur enam tahun itu sangat manja sekali kepada Juan. Mungkin karena kepribadian Juan yang penyayang dan lembut membuat anak itu lebih betah kepada papinya. Jangan tanya kenapa tidak terlalu dekat sama Safira. Pasalnya kakak Jaxton itu adalah tipe perempuan cerewet dan galak tentunya.

Selama menunggu Jerry diperiksa di dalam. Baik Safira, Jaxton, dan Sashi masih menunggu dalam diam. Meskipun terlihat tegar, sebenarnya batin Safira sangatlah tersiksa. Dia khawatir putranya mengidap penyakit tak biasa. Dalam hati, Safira pun banyak-banyak berdoa.

Waktu terus berjalan lima belas menit kemudian, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Wanita berusia sekitar 40 tahun itu menampilkan raut wajah ramah.

Seorang dokter atau yang disebut psikiater tersebut segera mempersilakan salah satu anggota keluarga Jerry untuk segera mengikutinya ke ruangan pribadi. Sementara Sashi dan Jaxton tetap menunggu di kursi luar.

Setelah duduk berhadapan, dokter tersebut menjelaskan beberapa poin yang mengarah pada gejala yang diidap Jerry.

"Setelah saya telaah, pasien mengidap gejala BPD (Borderline personality disorder) di mana pasien akan bertindak marah-marah tak terkendali. Kondisi ini merupakan gangguan mental yang ditandai dengan suasana hati serta citra diri yang berubah-rubah dan perilaku yang implusif."

Safira terhenyak, dadanya terasa diremas. Wanita itu tidak menyangka putranya akan mendapat gejala seperti itu. Dengan raut wajah cemas, dia bertanya. "Apa itu berbahaya, Dok?"

Dengan senyum menenangkan, psikiater tersebut berusaha untuk tidak terlalu membuat keluarga pasien khawatir. "Bersyukurlah gejala ini masih pada tahap ringan. Dan saya rasa perlahan dengan cara diberi pengertian pasti akan segera membaik. Tentunya dukungan dari keluarga sangat memengaruhi."

Secercah harapan mampu melegakan batin Safira. Ibu dua anak itu bersyukur masih diberi kesempatan untuk segera menangani permasalahan putranya.

Sesudah berbincang dan berbasa-basi. Akhirnya Safira diperbolehkan melihat keadaan Jerry. Namun, terlebih dahulu dia menjelaskan semuanya kepada Jaxton dan Sashi.

"Jerry terkena gejala gangguan mental," ujar Safira getir.

Mendengar kabar itu, Sashi terkejut bukan main. Tapi lain dengan Jaxton, pria itu justru sudah memprediksi mengingat akhir-akhir ini sifat sang keponakan sangat mencurigakan sekali. Alhasil dia tidak kaget lagi.

"Dan kakak cuma bisa minta maaf, bukan bermaksud menyalahkan. Bahwa Jerry seperti ini karena perasaan menyesal setelah mendengar Sashi menikah dengan om nya sendiri." Safira tersenyum sendu. Tapi tidak ada pandangan menghakimi.

Spontaneous Wedding [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang