Part 8

28.1K 1.8K 6
                                    


Waktu menunjukkan pukul sembilan malam, Jaxton masih berada di apartemen milik Swara. Pria yang belum berganti pakaian sejak dari pemakaman tampak berkali-kali menghela napas panjang.

"Aku tuh di sini cuma sebentar. Masa kamu tega pulang cepat, Sayang?" Swara merengut sembari bersedekap dada.

Entah sudah berapa kali Jaxton mengatakan ingin pulang cepat tapi selalu terhalang oleh rengekan wanita yang menjadi kekasihnya itu. Sebenarnya bisa saja Jaxton mengabaikan Swara lalu pulang tanpa persetujuan. Namun, dia tak tega melihat raut sedih kekasihnya.

"Plis satu jam lagi ya. Aku pengen banget berduaan sama kamu." Tanpa canggung Swara duduk di pangkuan pria itu. Bahkan sesekali jemari lentik Swara mengelus lembut rahang kokoh prianya.

"Lima belas menit lagi." Jaxton berkata mutlak seraya menyingkirkan jemari Swara yang berada di pipinya. Jujur pria itu risih. Tapi dia memilih diam segan membuat Swara tersinggung akan ucapannya.

Mendengar ucapan datar Jaxton mau tak mau, Swara mengangguk dengan berat hati. "Besok sore aku udah berangkat lagi. Kamu mau kan seharian temenin aku."

Dahi Jaxton berkerut. "Besok?"

"Iya. Pokoknya aku mau kita berduaan sepuas-puasnya. Ke mall atau di apartemen doang juga boleh yang penting kita berduaan."

Lagi-lagi Swara mendekatkan tubuh lalu merengkuh Jaxton. Mereka terlihat sangat intim sekali. Meski begitu, Jaxton tetap membuka lengan lalu berbalik mengeratkan dekapan.

"Saya tidak bisa berjanji. Kamu tahu sendiri saya banyak pekerjaan."

Sontak wanita berbibir tebal itu cemberut. Tapi dia tetap mengangguk dengan keadaan hidung mancungnya menggesek leher pria itu. Akibatnya napas Jaxton semakin memberat. Pria itu bergerak gelisah lalu berusaha melepas dekapan itu.

"Sudah waktunya saya pulang. Kamu beristirahatlah!" Dengan ringan Jaxton mendudukkan Swara di sofa. Beralih dia berdiri seraya membenarkan kemeja yang tampak kusut.

"Oke-oke aku istirahat. Tapi besok kamu nggak boleh lupa."

"Hem." Jaxton berdehem pelan sebagai jawaban. Tanpa basa-basi dia meraih jas yang tersampir di sandaran sofa lalu bersiap keluar dari tempat yang membuatnya nyaman sekaligus waswas.

Namun, sebelum langkah kaki Jaxton meninggalkan apartemen lengannya sudah terlebih dahulu dicekal Swara. Seperkian detik Jaxton mengerjab kala Swara memberi kecupan singkat tepat di bibirnya.

"Hati-hati di jalan ya. I love you."

Jaxton mengangguk pelan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia masih kaget dengan aksi tak terduga wanita berusia tiga puluh tahun itu.

***

Di tempat lain keluarga besar Handoko terlihat panik saat mengetahui Jaxton tak kunjung pulang. Ditambah ponselnya tak bisa dihubungi sama sekali. Dibalik kepanikan ada Jerry yang terduduk santai. Pemuda itu tidak terganggu dari berbagai omelan Sonia omanya.

"Astaga anak itu. Kamu beneran nggak tahu Jaxton ke mana Sashi?" tanya Sonia kepada sang menantu.

Sebagai jawaban Sashi menggeleng. Jujur andaikata nanti suaminya itu pulang sudah dia habisi pria tua itu. Dengan seenak udelnya pergi tanpa pamit bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali.

"Papa sudah telepon ke kantor. Mereka bilang tidak ada Jaxton datang ke sana," ungkap Jarvis tenang.

Sonia memijit pelipis pusing, dia kembali duduk setelah sekian lama mondar-mandir khawatir. Di ruang keluarga selain kedua orang tua Jaxton, ada Juan dan Safira. Bahkan mami Jerry itu jauh merasa geram akan kelakuan adiknya. Sedari tadi ibu satu anak itu bungkam tapi menahan rasa kesal.

Hening. Beberapa detik kemudian terdengar suara pemuda yang sedari tadi diam.

"Paling om lagi ketemuan sama pacarnya," celetuk Jerry tanpa beban.

Mendengar itu, Sonia seketika berdecak kesal. "Kamu jangan ngomong sembarangan? Ingat om kamu itu udah menikah."

"Yaelah dibilangi nggak percaya. Coba nanti tanya aja. Memangnya oma nggak kenal om Jax apa? Dari dulu kan dia suka gitu kalau sama kak Swara." Jerry berkata sembari melirik ke arah Sashi berharap gadis itu cemburu. Namun, yang didapat hanya ekspresi datar tanpa emosi.

"Sudah-sudah jangan membuat kesimpulan tanpa tahu kebenaran. Kita harus meminta kejelasan langsung dari mulut Jaxton jika sudah pulang."

Perkataan Jarvis bertepatan masuknya Jaxton dengan penampilan lelah dan semrawut. Mereka semua yang berada di ruang keluarga seketika bernapas lega. Mengetahui pihak keluarga berkumpul, Jaxton menelan saliva. Pria itu harus bersiap mendengar omelan mereka semua.

Tampak Sonia langsung berdiri lalu menghampiri putranya. Wanita berusia 56 tahun itu berkacak pinggang bersiap menyemburkan amarah pada putra bungsunya.

"Ma--"

"Kamu punya otak nggak, Jaxton? Pergi nggak bilang-bilang dihubungi susah. Ingat keluarga kita itu sedang berduka. Kamu dengan seenaknya menambah-nambahi masalah. Kamu pikir siapa? Raja, presiden?" Setelanya netra Sonia berkaca-kaca.

Melihat itu, rasa bersalah Jaxton semakin membesar.

"Mama capek kamu kayak gini terus. Ingat ada istri harus kamu jaga, Jaxton. Dia di sini membutuhkan kamu. Dia bukannya barang yang kamu tinggal seenaknya. Dia manusia punya perasaan. Hari pertama datang ke rumah ini, bukan sambutan baik yang Sashi terima. Mama malu, Jaxton."

Perkataan Sonia membuat bibir Jaxton menjadi kelu. Dia tidak ada hak untuk membela. Sebab, semua karena kesalahannya. Pria yang menenteng jas kusut menghela napas panjang. Dengan pelan dia melangkah mendekati Sonia.

"Nggak usah dekat-dekat. Lebih baik sekarang kamu mandi dan bawa Sashi ke kamar."

Tak ada pilihan lain. Jaxton mengangguk mengiyakan. Kini netranya  beralih memandang gadis yang seharian dia tinggalkan. Seakan mengerti, tanpa diperintah dua kali Sashi ikut berdiri lalu melangkah pergi meninggalkan semua pasang mata yang menatapnya.

Sepeninggal Sashi, ada perasaan sesak melihat gadis itu tak peduli. Tidak ingin membuat mamanya kembali mengeluarkan omelan, Jaxton membuntuti langkah sang istri.

***

Tiba di kamar Sashi langsung duduk di pinggir ranjang sembari menatap lurus ke arah pintu di mana Jaxton berdiri hendak masuk. Sashi tersenyum remeh melihat penampilan pria itu.

"Ngapain pakai pulang segala sih, Om? Bukannya di sana bikin betah?"

Jaxton memejamkan mata berharap segala omelan menjauh dari kupingnya.

"Nggak usah masang muka kayak gitu. Nggak mempan." cibir Sashi.

Diam. Jaxton mencoba menahan mulutnya untuk tidak menjawab ucapan menjengkelkan gadis itu.

Melihat om tua tak juga menutup pintu. Sashi menghela napas. "Tutup pintunya, Om. Malu didengar orang nanti."

Sadar jika sedari tadi memasang tampang menggelikan. Jaxton menarik napas kasar lalu menutup pintu sedikit kencang.

Mendengar suara kencang itu, Sashi mendengkus lirih.

"Sudah?" Jaxton berjalan sembari melepas kancing atas kemejanya.

"Tauk ah! Mending Om mandi! Aku nggak mau kena virus calon bibit pelakor," ucapnya pedas.

"Dia bukan pelakor." Sanggah Jaxton menatap tajam.

Sashi memutar bola matanya. Dia berbalik tak menangggapi perkataan Jaxton. Gadis berambut lurus itu memilih membaringkan tubuh membelakangi pria itu.

Paham jika istrinya sedang marah. Jaxton hanya bisa menuruti keinginan Sashi. Mungkin dengan membersihkan diri dia bisa kembali berpikir jernih.

Tak lama saat bayangan Jaxton menghilang dari kamar. Sashi kembali duduk lalu mengggeram meremas sprei kasur. Jujur ingin rasanya dia membakar baju Jaxton agar bau parfum menyengat pacar pria itu tak lagi terhirup di hidung.

Spontaneous Wedding [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang