Part 17

23K 1.4K 7
                                    

Tepat di belakang tubuh tinggi tegap Jaxton, ada Sashi yang terdiam menahan rasa nyeri di hati saat mendengar dan melihat om suami video call dengan pacarnya.

Berusaha menekan gejolak di dada, Sashi berdehem pelan. "Om, udah selesai belum kangen-kangennya?"

Mendengar suara gadis yang sudah cantik dengan gaun hijau zamrud,  sejenak tubuh Jaxton menegang lalu mengangguk kaku. Dia beruntung sudah mematikan sambungan video call tepat waktu.

"Aku jadi makin yakin buat minta kemewahan secara cuma-cuma sama, Om." Ungkap Sashi mendapati Jaxton tergesa memasukan ponsel ke saku celana.

"Tidak perlu kamu sesali, Sashi. Dari awal saya sudah mengatakan untuk tidak mencampur aduk jenis perasaan apapun ke dalam kesepakatan."

Sashi tersenyum miring. "Oke, Sashi ngerti."

Gadis itu berjanji mulai detik ini tidak akan terlalu mencolok menggoda om suami. Dia menggunakan rencana elegan dan halus. Dengan begitu perlahan-lahan Jaxton melupakan sang kekasih secara sendirinya. Dan saat itu pula Jaxton akan selalu terbiasa serta terbawa suasana pesona dirinya. Sashi janji suatu saat rencananya pasti akan berhasil.

"Berhenti memasang wajah seperti itu, Sashi. Jangan berharap banyak tentang pernikahan singkat yang kita jalani. Kamu masih muda, sudah sepatutnya mencari kebebasan dan meraih cita-cita yang sempat tertunda," jelas pria itu saat sudah keluar dari unit kamarnya.

Di sisi kiri Jaxton, gadis dengan riasan natural mengangguk-ngangguk paham seraya tersenyum sinis. "Hem, masalahnya aku males kuliah, Om. Ribet."

Jaxton menghela napas saat sampai di depan lift. Sesudah memencet tombol dan pintu lift terbuka keduanya pun langsung masuk. Berhubung di dalam lift hanya ada mereka berdua. Jaxton menggunakan kesempatan itu untuk menatap Sashi secara intens.

"Jika tidak ingin melanjutkan kuliah. Saya ingin kamu berbisnis. Sanggup, Sashi?" Jaxton memandang dengan sorot meyakinkan. Walau bagaimanapun, pria itu tidak ingin Sashi hilang arah setelah nanti mereka berpisah. Minimal istri kecilnya itu mempunyai usaha untuk menopang kehidupannya nanti saat sudah sendiri.

"Akan aku pikir, Om. Lagian aku masih muda, harusnya seneng-seneng nggak mikirin masalah ribet kayak gini."

Saat mengatakan itu bertepatan lift berhenti tepat di lantai dasar. Mereka pun keluar menuju parkiran mobil di mana Andrew sedang menunggu bersama sang sopir.

Mengetahui tuannya datang bersama sang istri, Andrew tidak bisa menutupi rasa terkejut. Meski begitu dia tetap bungkam untuk tidak bertanya atau kepo kepada sang tuan.

Di dalam mobil, Andrew duduk di samping kemudi bersama sopir, sedangkan di jok belakang ada Sashi dan Jaxton yang sudah diam-diaman. Ketika mesin mobil sudah dinyalakan dan bersiap meninggalkan pelataran hotel. Sesaat Sashi terlonjak.

"Kenapa?" tanya Jaxton menaikkan sebelah alisnya.

Gadis dengan rambut terurai itu berdecak lirih. "Ponselku ketinggalan."

"Tidak perlu gelisah begitu. Lagi pula kita berangkat bersama dan kamu tidak terlalu membutuhkan benda itu."

"Nggak butuh gimana sih, Om? Kalau aku nggak pegang ponsel sementara Om lagi meeting. Terus aku diem sama bengong aja gitu," kesal gadis berusia sembilan belas tahun itu.

Jaxton menaruh berkas yang dibacanya tadi di atas paha. Dia bergerak menyamping untuk memandang raut merengut istri kecilnya. Mendapati raut muram gadis itu, ada sejumput perasaan bersalah sebab, belum sempat membuat Sashi bahagia ketika mereka tiba.

Spontaneous Wedding [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang