Part 7

25.8K 1.7K 6
                                    

"Loh Sashi, kok sendiri? Suami kamu mana?" tanya Safira ketika tak sengaja melihat keberadaan adik iparnya berdiri dekat jendela.

Bingung harus menjawab apa. Sashi hanya tersenyum tipis. "Kayaknya keluar, Kak."

"Ck. Gimana sih Jaxton orang lagi berduka main pergi-pergi aja."

Dumelan mami Jerry membuat batin Sashi semakin nyeri. Jelas saja tetap keluar meski dalam kondisi seperti ini. Seorang yang sangat dicintai akan selalu menjadi prioritas Jaxton saat ini.

"Ya udah jangan sedih ya. Kamu ke kamar aja dulu. Sekarang kondisi lagi panas. Bahaya kalau kamu di luar." Desak Safira.

Tak ada pilihan selain mengiyakan. Sashi langsung pergi pamit, dia melangkah ke lantai atas kembali. Seperti perkataan kakak iparnya Kamar Jaxton yang pintunya berwarna hitam pekat berada paling ujung

Langkah Sashi yang begitu lunglai diiringi embusan napas kasar. Sebenarnya dia masih belum tenang mengenai keadaan Jaxton sekarang. Apa pria itu sedang bersenang-senang dengan sang kekasih? Membayangkan hal itu, Sashi meringis dalam hati. Resiko menikah tanpa pikir panjang. Jadi, Sashi harus mencoba memaklumi tanpa menghakimi.

Sesampainya di depan pintu hitam pekat itu, ragu-ragu gadis dengan gaun panjang menutup kaki mencoba untuk membuka pintu. Meski merasa tak nyaman, tapi dia bertekad berpikir tenang. Tanpa seizin Jaxton, tetap saja keluarga besar menginginkan Sashi memasuki kamar ini.

Sesaat pintu terbuka, Sashi dibuat terpana. Ruangan yang dua kali lipat luas dari kamarnya ini tampak begitu maskulin dan elegan. Khas sekali dengan aura suaminya. Dinding-dinding terlihat begitu suram karena warna hitam.

Belum lagi ranjang king size nya. Benar-benar maskulin sekali kamar pribadi Jaxton. Sesudah menutup pintu, mata Sashi terpaku pada bingkai foto besar berada di atas kepala ranjang.

Perasaan sesak dan bergemuruh mendominasi gadis itu. Tubuhnya pun ikut membeku. Tak bisa berkata apa-apa, Sashi hanya bisa menelan saliva yang terasa nyelekit di tenggorokannya.

Tepat di hadapannya, terdapat gambar Jaxton tengah berpose mesra dengan seorang wanita. Dia menebak pasti itu kekasih suaminya. Keduanya terlihat serasi dan mesra. Jika dibandingkan dengannya, Sashi merasa kerdil sebab, wanita di gambar itu terlihat cantik, dewasa, tinggi, dan, memesona. Lagi-lagi hatinya terpatahkan oleh gambar pasangan romantis itu.

"Astaga. Maaf ya kamu harus lihat foto itu. Jaxton gimana sih. Kakak kira foto itu udah dicopot," keluh Safira tiba-tiba datang memasuki kamar.

Sashi pun hanya bisa tersenyum menutupi rasa nyeri di hati. "Mereka kelihatan cocok."

"Cocok darimana sih, Sashi. Asal kamu tahu, cewek itu yang bikin oma ngedrop selama bertahun-tahun di rumah sakit. Bagi kami mau secantik apapun dia kalau nggak punya empati buat apa. Udah jangan dipikirkan gambar itu. Sekarang kamu istirahat aja," jelas Safira panjang lebar disertai perasaan kesal.

"Tapi tunggu bentar, kakak panggil dulu orang buat turunin gambar jelek itu."

Tak butuh waktu lama dua pengawal lelaki datang membawa tangga. Mereka bahu membahu mencopot gambar sang pemilik kamar. Sesuai perintah Safira. Bingkai foto itu akan dibakar di halaman belakang.

"Kakak minta maaf ya, Sashi. Pertama kali kamu datang ke sini nggak bisa kasih sambutan baik." sesal Safira mengelus bahu adik iparnya itu.

Berusaha bersikap biasa saja. Sashi tersenyum menenangkan. "Nggak apa-apa kok. Namanya juga keadaan."

Safira tersenyum lembut. "Kamu istirahat dulu di sini. Biar Jaxton kakak yang urus. Anak itu kadang-kadang memang sulit dimengerti."

Sashi hanya bisa tersenyum kecut saat mendengar omelan mami Jerry. Meski begitu, Sashi bertekad untuk tidak kalah hanya karena kelakuan menyebalkan om suaminya itu.

***

Di tempat lain, Jaxton menyetir dalam kondisi terdiam tanpa ada perkataan. Tepat di sampingnya seorang wanita cantik nan dewasa hanya bisa mengembuskan napas kesal.

"Jadi kamu nggak suka aku datang?" Swara berusaha merangkul lengan pria berjas hitam yang sedang fokus menatap jalan.

Melihat sang pria tak juga bereaksi, tanpa segan wanita itu mengelus paha Jaxton dengan gerakan seduktif mungkin. "Padahal aku udah bela-belain pulang meski cuma punya waktu libur lima hari."

"Semua demi kamu, Sayang. Katanya kamu kangen," lanjut wanita berbibir tebal sensual.

Tak bisa berlama-lama mendiamkan pujaan hatinya ditambah jemari lentik itu selalu mengelusnya. Akhirnya Jaxton luluh dan berbalik menggenggam jemari lentik Swara Rindana. Wanita yang sudah lima tahun dikencaninya.

"Kan kamu kangen. Buktinya udah mau pegang-pegang." Dengan suara lembut Swara berkata disertai senyuman.

"Kamu membuat saya jantungan."

Untuk pertama kalinya sejak dua puluh menit mereka bertemu, akhirnya Jaxton mengeluarkan suara. Dengan tatapan tajam nan tampan Jaxton mengangkat sudut bibirnya.

Merasa girang karena sang pacar sudah kembali normal. Swara menghela napas lega. Tak berapa lama kemudian, mobil yang ditumpangi mereka berhenti di depan gedung apartemen mewah milik Swara.

Begitu turun dari mobil, keduanya berjalan saling mendekatkan badan. Aura kebahagiaan sangat kentara mengelilingi mereka. Tiba di dalam lift, dengan berani Swara berdiri di hadapan Jaxton. Lengan Swara melingkari leher pria itu. Netra keduanya pun terkunci.

Entah siapa yang memulai duluan, mereka sudah fokus memadu kasih setelah sekian lama berjauhan. Swara menjauhkan bibirnya disertai napas tersengal. "I Love you," bisiknya tepat di depan bibir tipis Jaxton.

Jaxton terdiam tapi tatapannya menyiratkan kerinduan yang dalam. Setelah keluar dari dalam lift, Jaxton memejamkan mata berharap apa yang dilakukannya kali ini tidak akan membuatnya menyesal di hari kemudian.

Setelah pintu apartemen terbuka, Swara menarik tangan Jaxton dengan girang. Wanita itu langsung menjatuhkan tas ke lantai lalu merengkuh tubuh tegap pria yang dirindukannya itu.

Swara memejamkan mata ketika pipinya menempel di dada bidang prianya. Pelukan mereka terasa hangat dan erat. Tak ingin kalah, Jaxton mengecup puncak kepala Swara dengan pelan.

"Rasanya udah lama banget kita nggak pelukan kayak gini kan, Sayang."

Jaxton masih terdiam. Namun, tangannya sibuk mengelus punggung polos Swara yang tidak tertutup gaun.

"Malam ini kamu nginap ya!"

Sontak tubuh Jaxton menegang. Namun, dia berusaha menormalkan kembali rasa keterkejutan.

"Aku kangen tidur bareng kamu," rengeknya saat melonggarkan pelukan. Wanita itu mendongak menatap manik Jaxton memohon.

Ada rasa bersalah membelenggu hati Jaxton. Dia sadar kali ini kelakuannya sangat tidak pantas. Akan tetapi, semua terkalahkan oleh rasa tak biasa yang mengunci hatinya.

"Kamu mau kan?"

Jaxton menghela napas. Dilepasnya rangkulan Swara dari tubuhnya. Jaxton mundur selangkah. Melihat reaksi prianya, Swara terlihat kebingungan dan kecewa.

"Saya tidak bisa berlama-lama, Swara. Di rumah terjadi hal duka."

Mendengar ucapan serius Jaxton. Swara mengerutkan dahinya. "Maksud kamu?"

"Oma sudah tidak ada."

Sontak netra Swara membola. Dia terlihat panik. "Kenapa kamu nggak bilang? Harusnya  kamu langsung bawa aku ke sana. Walau bagaimanapun aku itu udah menjadi bagian hidup kamu, Jax. Oma termasuk keluargaku juga kan?"

Bingung harus menjawab apa sebab, kondisi sudah tak lagi sama. Jaxton mendesah kasar. "Jangan ke sana. Mama tidak akan setuju. Kamu mengerti kan?"

Sejenak Swara terdiam. Benar apa yang dikatakan prianya. Mama Jaxton sedari dulu memang tidak menyukainya.

"Tapi kamu di sini lebih lama mau kan?"

Ucapan Swara bertepatan ponsel Jaxton bergetar.

Di tempat lain, Safira mencak-mencak karena teleponnya tidak diangkat juga. Yang mana ibu satu anak itu tidak tahu jika sang adik sedang bersama wanita paling dibencinya.

Spontaneous Wedding [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang