Kali ini otak Sashi benar-benar buntu. Saking stress karena tak bisa membuat Jaxton membatalkan keberangkatan ke Perancis. Gadis itu terpaksa meminta bantuan Dara. Ya, teman SMA nya itu. Tidak peduli nanti Dara meminta barang mahal, yang penting dia bisa mempunyai cara agar Jaxton tak jadi bertemu Swara.
"Kalau kasusnya kayak gitu. Cuma ada satu cara sih," ujar Dara berbicara via telepon.
Saat ini, Sashi sedang berada di kamar tamu guna agar tidak ada orang yang mendengar pembicaraan itu.
"Tapi tetap berhasil kan?" tanya Sashi memastikan.
"Tergantung sih, Sas. Aku nggak tahu sifat suamimu itu. Apa dia keras kepala, penyabar, bertanggung jawab. Intinya jika suamimu bener-bener kejam. Rencana ini seratus persen bakal gagal. Sebab, akibat rencana yang kita lakukan nanti membutuhkan rasa simpatik dan tanggung jawab."
"Bentar deh, kok aku jadi bingung sih." Sashi beralih duduk setelah daritadi berbaring saja.
Terdengar helaan napas berat di seberang sana. Sashi semakin waswas dia takut rencana yang diberi Dara akan menyalahi hukum. Bisa saja kan?
"Sas, cuma ini saran dari aku. Mau kamu pakai atau enggak itu terserahmu. Soalnya ini bener-bener ekstrem banget."
Bertambah merinding bulu kuduk Sashi. Dia mengigit bibir resah sambil memegang erat ponsel yang ditempelkan di daun telinga.
"Jangan bikin takut dong, Ra."
"Ish. Ini belum apa-apa juga. Yakin deh prakteknya lebih bikin deg-degan tuh jantung. Apalagi kayak kamu orangnya."
"Emangnya apa sih?" Sashi tampak tak sabar.
"Dengerin baik-baik ya!"
Sashi mengangguk paham. Tapi langsung berdehem karena pasti Dara tidak mengetahui anggukannya itu.
Hening, tapi jantung Sashi bergemuruh penasaran menunggu rencana yang disebutkan.
"Sas, kamu hanya perlu kasih obat perangsang saat menjelang detik-detik keberangkatan suamimu."
Obat perangsang? Otak Sashi tiba-tiba blank. Gadis itu terhenyak, bingung harus bereaksi apa.
Karena tidak mendapat respons balik dari lawan bicaranya. Berulang kali Dara memanggil-memanggil nama Sashi.
Barulah, Sashi tersentak mendengar teriakan temannya pas di telinga. "Y-ya, Ra."
"Kamu bengong ya?"
Sashi meringis. "Ya, sorry. Abisnya rencanamu itu bikin kaget aja."
"Aku serius loh, Sas. Jam terbangku itu udah tinggi."
"Tapi beli obatnya itu di mana, Ra? Kan kamu tahu sendiri aku mana ngerti yang kayak gituan."
Dengkusan lirih terdengar. "Gampang. Aku yang bakal beli. Kamu tinggal terima beres. Tapi... "
Nah kan ada tapinya. Sashi mengeluh dalam hati, dia harus siap menggelontorkan uang kembali ini.
"Seperti biasa, ini nggak gratis," ujar Dara sedikit memelankan suara.
Meski sedikit keberatan, Sashi tetap juga pasrah. "Kamu mau apa, Ra? Mumpung aku ada duit nih."
"Nggak banyak kok. Kamu cukup kasih nomor Andrew asisten suami kamu."
What? Apa dia tidak salah dengar? Sashi terbengong. "Maksudnya ini kamu mau minta nomor hp pak Andrew? Yang umurnya hampir 40 tahun itu."
"Iyes. Kemarin bokap ceritain tentang vibesnya yang namanya Andrew asisten pribadi suamimu. Katanya dia masih lajang. Nggak ada deket sama cewek juga."
Sashi mengangguk. Jika dipikir-pikir selama ini pak Andrew terkesan workaholic bahkan dekat dengan lawan jenis pun tidak. Padahal umurnya sangat matang untuk berumah tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spontaneous Wedding [REPOST]
RomanceBalasan diputus secara sepihak adalah menikahi paman sang mantan pacar.