Hati ini sudah sering dipatahkan oleh realita. Lalu apalagi yang bisa mematahkan hatinya?
******
Jakarta, Masa kini.Tatiana melangkah menuju meja makan yang -seperti biasa- hanya terdapat Bundanya. Tatiana menarik napasnya perlahan sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Keadaan rumah yang besar namun sepi itu sudah biasa dirasakan Tatiana. Melihat Bundanya yang bersiap-siap sembari menyiapkan sarapan dengan sebelah tangan sedangkan tangannya yang lain memegang ponsel yang terhubung panggilan entah dengan siapa.
Tatiana mengangguk ketika Bundanya melambaikan tangan menyuruhnya mendekat untuk duduk di hadapan wanita itu. Tatiana meletakkan tas gandengnya di kursi sebelahnya lalu duduk di hadapan wanita yang melahirkannya. Mata Tatiana menatap banyaknya makanan yang disajikan. Seperti biasa, bebas baginya memilih apapun yang ia inginkan untuk dimakan.
"Ti, Bunda udah hubungin Mas Medi. Katanya nanti dia bersedia adain tambahan jam karena kamu lusa ulangan fisika kan?"
Tatiana menahan sesaknya sendiri. Medi adalah guru private yang disewa oleh Bundanya untuk mengajari Tatiana di luar jam sekolah. Bahkan semua jadwal yang akan dilakukan Tatiana sehari-hari selalu ditetapkan oleh sang Bunda tanpa adanya perlawanan sedikitpun. Atau lebih tepatnya, tanpa bisa melawan sedikitpun.
"Oh iya, nilai ulangan matematika kemarin gimana? Sempurna kan?"
Tatiana terdiam. Matanya memandang kosong pada nasi goreng mentega di hadapannya.
"Ti? Sempurna kan?"
Tatiana menelan ludahnya. "Maaf-"
Tatiana tersentak ketika suara sendok dan garpu besi yang terbanting ke piring di hadapannya. Tanpa mendongak pun Tatiana tahu kalau itu adalah hasil kemarahan Bundanya. Tangan Tatiana tanpa sadar bergetar. Begitupun dengan bibirnya yang sebisa mungkin ia tahan agar tak menghasilkan suara isakkan.
"Kurang apa memangnya Ti?"
"Tatiana Aulia Tjandrata! Jawab!"
Tatiana memejamkan matanya. "Bun, aku Arshandra, bukan Tjandrata," ucap Tatiana serak.
Tubuh Tatiana meremang ketika ia mendengar tawa sinis dari Bundanya. Tangannya semakin bergetar. Ia sedikit mendongak saat mendengar suara decitan kursi yang menandakan wanita yang melahirkannya itu kini berdiri.
"Arshandra? Kamu masih membanggakan nama belakang Ayah kamu yang sekarang di penjara, Tatiana?"
"Dia tetap Ayah aku Bun. Nama dia tetap akan jadi nama belakang aku," balas Tatiana pelan. Tatiana dapat mendengar Bundanya tertawa sinis. Tak percaya dengan perlawanan kecil dari Tatiana.
"Ya, dia tetap Ayah kamu. Tapi dia sudah bukan bagian dari kita semenjak dia ditangkap Tatiana. Lihat saya! Saya sudah memfasilitasi kamu. Seharusnya tidak sulit untuk kamu memenuhi permintaan saya kan?"
Tatiana hanya mengangguk pelan. Tak kuasa mengeluarkan suaranya untuk menjawab Bundanya. Selain itu, dirinya juga tak ingin melawan Bundanya lagi.
"Saya nggak mau tahu. Nilai ulangan fisika kamu lusa harus bulat 100. Kalau sampai kurang, saya akan tambah jadwal les kamu sampai jam 12 malam setiap sabtu dan minggu,"
"Kamu tidak boleh tidak berguna seperti Ayah kamu yang hanya menumpang hidup di atas harta Kakek kamu, Tatiana,"
Tatiana menahan napasnya dan semakin menunduk. Ia mendengar Bundanya yang mulai melangkahkan kakinya menjauhi meja makan. Tepat ketika suara pintu tertutup dengan suara beberapa pelayan di rumahnya yang kini membantu persiapan Bundanya, tangisnya meluruh. Tanpa suara hanya airmata yang terus berjatuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Teen Fiction[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...