Mengapa perasaan bahagia bertahan lebih sebentar dibandingkan perasaan sedih?
*****
"Mars!"
Tatiana menggedor pintu kamar hotel milik Mars. Kamar mereka bersebelahan. Saat ini keduanya beserta gurunya masih menginap di salah satu hotel di pusat kota Yogyakarta. Mereka akan menghadiri workshop serta technical meeting besok sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke desa tersebut.
"Mars! Lagi ngapain sih lo? Buka pintunya,"
Tatiana mengerung kesal. Sudah tiga menit ia menggedor pintu kamar Mars namun lelaki itu masih saja tidak membukakan pintu untuknya.
"Mars-"
"Duh Tatiana. Kenapa? Lo berisik banget," keluh Mars yang membukakan pintu.
Untuk sesaat Tatiana terdiam. Bahkan gadis itu tidak dapat mengedipkan matanya ketika melihat Mars membuka pintu hanya memakai handuk yang dilingkarkan di pinggang lelaki itu.
Mars memang sedang mandi ketika ia pertama kali mendengar Tatiana mengetuk pintu kamarnya. Ia pikir Tatiana hanya akan sekali mengetuk pintu. Namun di luar dugaan, Tatiana justru menggedor pintunya dengan kuat membuat Mars buru-buru menyelesaikan mandinya.
Tatiana mengerjap. Ia tersadar bahwa kini ia tampak seperti orang bodoh yang menganga melihat tubuh Mars. Lelaki itu hanya memakai handuk. Rambutnya masih basah karena Tatiana dapat melihat tetesan-tetesan air yang jatuh dari rambutnya dan mengalir bebas dari pundak lelaki itu.
"Lo- ehm. Lo kenapa baru mandi?"
Mars mengangkat sebelah alisnya. "Lo mau ngajak gue ngobrol? Jangan di pintu kayak gini,"
Tatiana mendengus. Gadis itu mendelik kesal. "Gue tunggu di lobi sepuluh menit lagi!"
Setelah mengucapkan itu, Tatiana buru-buru membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju lift. Berkali-kali ia menggelengkan kepalanya. Apa-apaan Mars itu? Bisa-bisanya hanya memakai handuk saat bertemu dengan Tatiana.
Tatiana kemudian duduk di sofa yang ada di lobi. Gadis itu masih menggerutu mengenai Mars. Menggelengkan kepalanya lagi saat bayangan Mars kembali memasuki pikirannya.
"Kita mau kemana sih?"
Tatiana mendongak. Mars berdiri di hadapannya dengan tatapan kesal. Pasalnya, ketika mereka sampai di hotel, Mars tidak langsung mandi dan bersiap-siap. Melainkan lelaki itu langsung menyusun barangnya dan beristirahat sejenak. Duduk di kursi kereta meskipun eksekutif selama berjam-jam pastinya membuat tubuhnya perlu beristirahat dengan baik.
"Lo kan udah deal mau ikut jadwal gue. Jadwal gue bukan leha-leha di kamar hotel doang Mars."
Kening Mars berkerut. "Harus banget sekarang Ti? Lo emangnya nggak capek?"
Tatiana menggeleng. Gadis itu berdiri dan menatap Mars.
"Kita cuma bisa nikmatin pusat kota Jogja hari ini sama dua hari terakhir kita nanti. Jadi gue nggak mau buang-buang waktu,"
Tatiana kemudian menarik tangan Mars untuk mengikutinya. Keduanya berjalan menjauhi hotel.
"Kita jalan kaki?"
Tatiana mendengus. "Jangan manja Mars! Di sini nggak ada mobil sedan mewah plus supir buat lo,"
"Gue cuma nanya. Lagian kita mau kemana? Lo emang tahu jalan?"
Tatiana mengangguk. "Gue udah hapalin jalanan tadi pakai maps,"
"Kenapa nggak dibuka aja mapsnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Novela Juvenil[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...