Everything you lose is a step you take.
*****
"Tatiana,"
Tatiana yang sedang duduk di kursi taman belakang kediaman Tjandrata sendirian itu terpaksa mendongak. Ia tersenyum tipis mendapati Gendra berada di hadapannya.
"Lo nggak tahu seberapa paniknya gue dapat chat dari lo. Gue rela ninggalin study tour kita demi ketemu lo —mungkin untuk terakhir kalinya,"
Gendra menghembuskan napasnya. Mengambil duduk di hadapan Tatiana. Menatap sahabatnya itu dengan serius.
"Ti, tell me you're joking. Lo nggak mungkin pindah kan Ti? Lo nggak mungkin ninggalin semua ini —ninggalin gue— dan yang lain kan? Nggak lucu Ti,"
Tatiana tersenyum tipis. "Gue juga berharap ini semua bercanda Gen,"
"Kenapa Ti? Kenapa lo nyerah segampang ini?"
Tatiana langsung menatap serius pada Gendra. "Gampang? Ini semua nggak pernah gampang Gen! Belum ada kata gampang di hidup gue. Justru ini bagian yang paling susah. Gue nggak bisa —nggak mau— ninggalin ini semua. Gen, gue nggak mau ninggalin lo, Lily, Zaski, Syaena, —and the hardest part is I don't want to leave him Gen,"
"Kalau gue bisa milih, lebih baik gue berdarah-darah ngehapus perasaan gue ke dia dibanding harus melarikan diri kayak pengecut ini. It will never be easy for me Gen,"
Gendra memajukan tubuhnya. Tangannya naik untuk mengusap bahu Tatiana. Turut merasakan kesedihan itu.
"You will be okay Ti. Trust me,"
Tatiana menunduk. "Gue berharap ketenangan bisa didapat dari kata-kata sesimple itu Gen,"
"Lo tahu kan kalau gue akan selalu ada buat lo Ti? Ya mungkin ini pertama kalinya kita jauh, tapi gue akan pastiin gue masih jadi Gendra yang sama untuk lo. Gue akan pastiin gue akan angkat semua call dari lo, dan jawab chat dari lo. Just let me know everything about you nantinya ya?"
Tatiana menunduk lalu mengangguk. "I will Gen,"
"Jadi kapan lo berangkat?"
Tatiana mendongak dan tersenyum tipis. "Lusa,"
Gendra kemudian terdiam. "Wow," hanya itu yang dapat ia katakan.
"Cepat ya? I know. If only I have much time, gue mungkin nggak akan sesedih ini Gen,"
Gendra mengangguk. Tatiana benar. Kalau saja waktu yang tersisa masih banyak, Gendra berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat Tatiana lupa akan kesedihannya, setidaknya untuk sementara.
"The hardest part of this is I have to leave him di saat keadaan yang kayak gini Gen. Kalau gue bisa minta, gue mau ada di samping dia sampai gue pun nggak sanggup untuk berada di samping dia. Tapi hal itu nggak akan pernah terwujud. Nggak ada orang yang waras untuk mendukung hubungan kita. Nggak ada,"
******
Kali ini entah mengapa jantung Mars berdegup begitu kencang. Ia sengaja malam ini menunggu sudah kurang lebih dua jam di dapur sendirian. Beberapa lampu di sekitarnya memang sudah mati menjadikan dapur kini hanya terlihat remang-remang. Mars tahu ini bodoh, tetapi ia di sini hanya untuk menunggu gadis beraroma cokelat itu datang seperti malam-malam biasanya.
Mars menunduk. Hatinya gusar sekali. Sungguh. Mungkin orang lain tidak dapat melihat betapa linglung dirinya saat ini. Seolah kematian Eldeiska kemarin sangat mengguncangnya, namun kepergian Tatiana akan merusak dunianya.
Kepalanya langsung mendongak dengan cepat begitu mendengar langkah kaki yang mendekatinya. Pancaran wajah risau tersebut langsung berganti datar saat mendapati Tatiana yang berjalan dengan acuh melewatinya begitu saja seakan ia tak terlihat. Mars sampai terpaksa membalikkan badannya untuk melihat apa yang dilakukan oleh Tatiana saat ini. Gadis itu berhenti di depa kulkas dan mengambil satu kotak susu kemasan. Tanpa sadar Mars tersenyum. Seperti sudah kebiasaannya untuk mengawasi kegiatan Tatiana dalam diam seperti saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Teen Fiction[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...