Faking a smile is easier than explaining why you're sad.
*****
"Oma?"
Tatiana yang baru saja terjaga dari mimpi buruknya terperangah mendapati Dhiya Tjandrata yang berdiri di kamarnya. Memandangnya serius. Tatiana membalas tatapan itu. Menatap sang oma yang sudah memakai pakaian serba hitam.
"Tjandrata sedang berduka karena kehilangan calon menantunya —dan kamu ada di kamar untuk tidur? Segitu tidak toleransi kah kamu?"
Tatiana menelan ludahnya. Ia kemudian menggeleng pelan. "Maaf," hanya itu yang bisa ia katakan. Namun ia tahu, kata maafnya tidak akan memuaskan sang oma.
"Apa kamu lagi bahagia sekarang?"
Tatiana sungguh tersinggung dengan pertanyaan Dhiya Tjandrata. Ia hampir saja meledakkan emosinya. Namun, yang gadis itu bisa lakukan hanya menarik napasnya lalu menunduk dan menggeleng.
"Tati ikut berduka, oma," ucapnya dengan lesu.
"Ya. Terlihat sekali. Ikut berduka dengan cara tidur di saat semua orang sudah ada di rumah duka," sindir Dhiya Tjandrata yang membuat Tatiana kembali memejamkan matanya.
Dhiya Tjandrata melangkahkan kakinya mendekat pada Tatiana. Ia kemudian menyodorkan sebuah amplop membuat Tatiana mengerutkan keningnya.
"Apa ini?" tanya Tatiana yang masih belum ingin menerima amplop tersebut.
"Just open it," balas Dhiya Tjandrata tanpa senyuman.
Tatiana dengan perlahan membuka amplop tersebut. Ia tercengang melihat isinya. Satu lembar tiket, paspor, dan sebuah kartu nama?
"Oma—"
"Saya sudah tidak ada lagi keinginan Tatiana. Tolong kamu penuhi permintaan saya kali ini. Pergi dan jalani hidup kamu tanpa bayang-bayang Tjandrata di sini,"
Tatiana menelan ludahnya. Entah kenapa ini terasa sangat sakit kali ini. Ia bahkan sudah tidak memiliki tenaga untuk terkejut seperti dulu.
"Sydney? Hidup tanpa bayang-bayang Tjandrata atau Mars? Apa yang sebenarnya oma mau?"
Dhiya Tjandrata menarik napasnya. "Tinggali kehidupan kamu di sini dan lanjutkan hidup kamu di negara lain, Tatiana. Kamu pernah minta untuk tidak masuk ke keluarga ini —saya wujudkan. Go to Sydney and you will no longer be Tjandrata. Saya akan cabut semua hak kuasa kamu sebagai Tjandrata. Sebagai gantinya, saya akan tetap memfasilitasi semua kehidupan kamu di sana. Kartu nama itu adalah orang kepercayaan saya yang akan mengurus semua keperluan dan keinginan kamu selama di sana. Waktu kamu tiga hari dari sekarang —setelah itu kamu bisa pergi. Manfaatkan tiga hari ini untuk berpamitan kepada siapapun —kecuali Mars. Biarkan dia tetap tidak tahu, —lebih baik dia tidak tahu,"
Dhiya Tjandrata tersenyum tipis melihat Tatiana. "Yang harus kamu tahu, saya melakukan ini semua karena saya sayang dengan keluarga ini. Saya tahu kamu terlalu banyak sakit hati atas perlakuan saya. Maka dari itu saya masih ingin bertanggung jawab atas kamu. Tatiana, saya mohon. Ini permintaan saya dan tolong penuhi,"
"Lebih baik menjauhi kamu dan Mars daripada harus melihat keluarga ini hancur berantakan hanya karena perasaan dua cucu saya,"
******
Tatiana berada di barisan paling belakang dari seluruh orang yang sedang menyaksikan prosesi pemakaman Eldeiska. Gadis itu tampil dengan gaun formal berawarna hitam. Tidak lupa kacamata hitamnya untuk menutupi tatapan kosongnya.
Tidak, Tatiana tidak menangis. Sulit untuknya menangisi banyak hal belakangan ini. Tapi itu semua tidak menyingkirkan fakta bahwa Tatiana berduka, sangat berduka.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Novela Juvenil[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...