I don't know if you feel the same as I do, but we could be together if you wanted to.
****
"Ada apa kok rame banget?"
Hari ini sudah hari ke tujuh belas mereka berada di desa Kadipaten. Tatiana melirik dengan bingung saat balai warga kini penuh dengan warga yang hadir.
Ia dan Mars baru saja menyelesaikan wawancara di salah satu rumah warga. Wawancara mereka yang terakhir sebelum akhirnya mereka akan menarik kesimpulan hasil penelitian mereka dan membawa hasil tersebut ke perlombaan di pusat kota Yogyakarta.
Mars menggeleng pelan. Ia juga tidak mengetahui mengapa balai warga tiba-tiba ramai dikunjungi oleh warga setempat.
"Tatiana? Baru selesai?"
Tatiana menoleh dan tersenyum tipis pada Dewa yang menghampiri mereka. Di belakang Dewa terdapat Melvira yang membawa satu kantong plastik yang Tatiana tidak tahu isinya.
"Iya Mas. Baru selesai dari rumah Ibu Mirna. Itu ada apa ya Mas? Ramai begitu?" tanya Tatiana.
"Itu Ti. Tiba-tiba ada kiriman makanan, paket sembako, dan bantuan lain-lain untuk semua warga di sini. Makanya lagi pada ambil giliran ke sana,"
Kening Tatiana berkerut. "Kiriman? Dari siapa?"
Melvira tersenyum lalu melangkah mendekati Mars membuat Tatiana menoleh.
"Dari keluarganya Mars. Tuh kan, aku bilang juga apa. Aku pasti pernah ngelihat Mars di berita. Benar aja! Kamu cucunya Dhiya Tjandrata toh Mars,"
Tatiana menoleh pada Mars sedangkan lelaki itu hanya diam. "Bantuan? Oma lo ke sini?" tanya Tatiana.
Mars mengangkat kedua bahunya. "Gue nggak tahu," jawab lelaki itu.
"Mars, ini aku bawa buah-buahan. Dari Pak Kades untuk kamu. Ucapan terima kasih katanya karena udah beri sumbangan ke desa kita," ucap Melvira sembari tersenyum.
Gadis itu memberikan kantong plastik itu ke Mars yang diterima dengan baik oleh lelaki itu.
"Terima kasih Mel,"
Tatiana mendengus di dalam hatinya. Tatiana sangat mengetahui tingkah Melvira yang sudah berhari-hari ini semakin mendekat pada Mars. Entahlah, Tatiana tidak tahu apa yang keduanya lakukan karena sependek pengetahuan Tatiana, mereka berdua beberapa kali pergi bersama di waktu senggang.
Kemudian Tatiana melirik pada Dewa.
"Di sana ada siapa aja Mas?" tanyanya,
"Kurang tahu. Aku belum sempat masuk Ti. Tapi yang jelas ada banyak pengawal sih yang jagain. Rame juga di sana karena beberapa warga berebut, takut ndak kebagian. Padahal paketnya dilebihkan sih katanya. Kamu mau ke sana Ti? Aku temanin mau?"
"Pengawal?" tanya Tatiana mengabaikan ajakan lelaki itu.
"Iya, kayaknya keluarga Mars ada yang datang. Mungkin nenek kamu Mars, soalnya penjagaannya ketat," jawab Dewa dengan santai.
Tatiana berdeham canggung. Sial. Kalau Dhiya Tjandrata yang ada di dalam sana, Tatiana tentu harus melarikan diri. Ia tidak boleh berada di satu tempat dengan Dhiya Tjandrata atau ia akan ketahuan.
"Ti? Lo mau ke sana kan? Barang-barang kita ada di sana semua," ucap Mars. Lelaki itu dengan santai menatap penuh pada Tatiana. Mengabaikan Melvira yang kini sudah berada mendekat padanya.
Tatiana kemudian tersenyum tipis. Oke untuk kali ini ia akan menggunakan Melvira sebagai bala bantuan.
Ada untungnya perempuan itu selalu mengintili Mars.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Novela Juvenil[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...