I told the stars about you. Always about you.
*****
Mars, pria yang kini menginjak usia 26 tahun itu berdiri dengan tegak. Pandangannya lurus ke depan meskipun tertutupi oleh kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Di belakangnya terdapat dua pengawal yang menjaganya.
Pria itu melirik ke arah kiri. Venus, adiknya yang sedang duduk diam dengan pandangan kosong.
Kemudian Mars kembali menatap lurus ke depan. Wajahnya datar bahkan sama sekali tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Ruangan ini ramai. Tetapi hatinya terasa hampa. Bahkan ketika sekelilingnya bergantian menyampaikan bela sungkawa padanya, Mars hanya diam.
Di depannya, peti mati Dhiya Tjandrata masih terbuka. Sekeliling peti itu terdapat karangan bunga dan tentunya orang-orang yang menangisi kepergian pemilik tahta Tjandrata.
"Sepuluh menit lagi kita akan pergi ke pemakaman,"
Mars mengangguk. Pengawal pribadi sang oma memberi tahunya. Mars melirik Aries Tjandrata dan Samara Tjandrata yang menangisi kepergian ibunya. Hal ini membuat Mars menghela napasnya.
Bahkan di suasana duka ini, Mars tidak tahu diri karena mengharapkan kehadiran Tatiana.
"Tutup sekarang petinya,"
Dengan dingin, Mars mengucapkan kalimat tersebut. Lelaki itu tak lagi melirik keadaan sekitar.
"Bang, apa nggak bisa kita nunggu sebentar lagi? Siapa tau—"
"Siapa? Siapa yang mau ditunggu? Semua keluarga udah ada di sini. Nggak ada waktu lagi untuk nunggu yang lain," balas Mars dengan dingin.
"Tapi kak Tati—"
"She's not here Venus. Jangan cuma karena kita berharap seseorang hadir saat ini, kita jadi mengorbankan oma," balas Mars.
"Actually I'm already here Mars,"
Mars dan Venus membalikkan badannya. Di sana Tatiana berdiri dengan satu koper kecilnya. Gadis itu mengenakan baju berwarna hitam polos. Penampilan yang sederhana namun tetap menyita seluruh perhatian seisi ruangan, perhatian Mars.
Setelah genap 8 tahun mereka tidak pernah bertemu sama sekali, kini gadis itu hadir di hadapannya. Nyatanya, 8 tahun tidak membuat kegugupan Mars sirna setiap bersitatap dengan gadis itu.
Mars membisu. Bahkan ketika gadis itu menangis memeluk Venus, Mars hanya diam.
"I'm so sorry," bisik Tatiana yang dapat didengar oleh Mars. Gadis itu masih menangis di pelukan Venus.
Tatiana lalu berjalan memeluk Samara Tjandrata dan sama-sama menangis.
Tanpa bisa menahan, bola mata Mars mengikuti setiap gerak gerik Tatiana. Bahkan ketika gadis itu menangis di samping peti Dhiya Tjandrata, Mars masih terus mengawasi gadis itu.
Mars menarik napasnya. Menoleh pada salah satu pengawalnya. "Take care of her," ucapnya yang diangguki pengawal tersebut. Pengawal tersebut langsung berdiri tak jauh dari Tatiana dan mengawasi gadis tersebut.
Mars kemudian menatap Venus. "Udah waktunya," ucapnya sambil menepuk pelan pundak Venus dan berjalan meninggalkan rumah duka.
******
Aksara Mars Tjandrata. Pria itu duduk sendiri di tengah keheningan malam. Proses pemakaman berjalan lancar —setidaknya itu yang dia tahu. Sepanjang proses pemakaman, yang Mars lakukan hanya berdiri di belakang peti Dhiya Tjandrata. Tanpa suara, tanpa reaksi, dan tanpa mempedulikan dunia sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Novela Juvenil[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...