And I will hold you closer, hope your heart is strong enough
****
Siang ini Tatiana, Mars, beserta guru mereka telah sampai di Desa Kadipaten. Tatiana sengaja memilih duduk yang berjauhan dari Mars. Sejak tadi pagi, mereka belum mengucapkan satu patah kata pun. Entahlah, Tatiana terlalu takut dan malu pada lelaki itu.
Tatiana menarik kopernya, mengikuti sang kepala desa, Pak Dromo menuju balai desa.
"Senang sekali loh Desa Kadipaten jadi desa terpilih untuk penelitian kalian,"
Tatiana tersenyum tipis. Guru-gurunya meninggalkan Tatiana dan Mars untuk berbincang dan mengenal desa ini bersama kepala desa. Entah mereka pergi kemana, Tatiana terlalu malas untuk mencari tahu.
"Desa ini jarang selali ada yang mau datang untuk meneliti, atau bahkan melakukan pengabdian. Padahal di sini selalu terbuka untuk siswa maupun mahasiswa yang mau mengabdi," ucap Pak Dromo lagi.
"Oh iya kita belum kenalan. Saya Dromo, kepala desa di sini. Nah ini, Ibu Prita namanya. Beliau ini sekdes di sini,"
Tatiana dan Mars menyalami kedua ya dengan sopan. Tatiana dapat melihat Ibu Prita terpesona oleh Mars membuat Tatiana menghela napasnya.
"Kalian ini memang keturunan bule ya? Atau memang sekolahnya khusus untuk bule?" tanya Ibu Prita.
Mars tersenyum tipis. "Bukan khusus Bu. Kebetulan saya dan Tatiana memang ada darah campurannya. Oh iya, saya Mars Bu dan ini partner penelitian saya, Tatiana,"
"Pas sekali. Nanti saya kenalkan sama pengurus karang taruna di sini ya? Sedikit banyak nanti kalian akan dibantu mereka,"
Tatiana mengangguk. Ia melihat sekeliling desa ini. Well, not bad. Ucapnya dalam hati.
Setidaknya desa ini tidak semengerikan yang Tatiana bayangkan. Lagipula, bisa Tatiana lihat kalau desa ini termasuk desa yang bersih. Tatiana bersyukur akan hal itu.
"Di sini ada berapa banyak penduduk Pak? Bu?" tanya Tatiana memulai percakapan.
Ia jujur segan karena sedari tadi yang ia lakukan hanyalah diam dan mengikuti mereka.
"Di sini total ada 400 lebih kepala keluarga, mbak," jawab Ibu Prita.
Tatiana mengangguk. "Sekolah terdekat di desa ini ada bu?"
Ibu Prita mengangguk. "Hanya paud, SD, dan SMP mbak. Kalau SMA terdekat masih di batas desa,"
Tatiana mengangguk. Kini setidaknya ia mendapati salah satu akar permasalahan.
"Oh iya untuk penginapan, di sini ndak ada hotel. Jadi kami dari warga sukarela saja meninjamkan balai warga untuk tempat istirahat mas, mbak, dan guru-guru. Nanti kalau butuh apa-apa bisa ke rumah yang di situ, itu rumah saya," ucap Ibu Prita sembari menunjuk salah satu rumah persis di samping balai warga.
"Maaf ya mbak, mas. Seadanya aja loh ini. Balai warga juga ndak ada AC nya, tapi sudah dipinjamkan kipas angin sama anak-anak karang taruna,"
Mars menggeleng kecil. "Nggak apa-apa Bu, itu saja sudah cukup,"
"Kalau gitu mari saya antar bertemu karang taruna di sini,"
Tatiana dan Mars mengikuti langkah Ibu Prita menuju satu rumah di samping posyandu. Mereka berdua berjalan di belakang Ibu Prita tanpa berbicara satu patah kata pun.
"Nak Dewa, ini loh yang Ibu ceritakan,"
Tatiana menatap lelaki yang baru saja membukakan pintu untuk mereka. Lelaki itu kemudian tersenyum manis dan menyalami Ibu Prita dengan sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Teen Fiction[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...