Some people survive chaos, and that's how they grow.
*****
Tatiana hanya diam di balik kaca ruang ICU. Menyaksikan Jonathan Downey yang menangis memeluk tubuh Eldeiska yang terbaring kaku selagi para dokter dan perawat melepaskan berbagai macam alat medis yang telah membantu gadis itu bertahan hidup meski hanya sebentar.
Sungguh gadis itu tidak tahu apa yang terjadi. Sedari tadi ia hanya duduk terdiam menatap lurus ke arah ruang ICU. Bahkan ia tidak sadar kalau hari tidak lagi pagi. Tatiana tidak tahu kini sudah pukul berapa. Ketika ia hanya menatap lurus pada kaca yang menampilkan Eldeiska yang tadi masih baik-baik saja.
Tatiana bahkan tidak lagi mengetahui dan menyadari keadaan sekitar ketika lampu alat medis Eldeiska menunjukkan warna merah berkali-kali. Tidak juga bisa bergerak ketika para tenaga medis berlari menuju ruang rawat Eldeiska. Apalagi, dirinya hanya bisa diam ketika Dhiya Tjandrata yang entah datang kapan dan darimana bersama orang tua Eldeiska. Ia juga hanya bisa mematung diam ketika Dhiya Tjandrata mengguncangnya berulang kali menanyakan keadaan yang tiba-tiba berubah.
Tatiana kemudian berdiri. Masih dengan seragam sekolahnya. Ia berjalan mendekati kaca ruang ICU dan terdiam. Semua orang menunjukkan kesedihannya sedangkan Tatiana hanya bisa menunjukkan kehampaannya.
"Tati,"
Pada akhirnya Tatiana menoleh. Mendengar suara yang sudah sangat ia hapal. Lelaki yang selalu membuatnya merasa nyaman. Mars datang dengan napas yang terputus. Lelaki itu berlari dengan sangat kencang menghampiri ruang ICU dan entah kenapa itu membuat Tatiana merasa iri. Mars tidak pernah secepat ini tentangnya.
"Apalagi kali ini, Ti?"
Tatiana menahan sesaknya ketika Mars bertanya padanya dengan suara lirih yang putus asa. Ketika lelaki itu sampai tepat di hadapannya, Tatiana dapat merasakan tatapan kosong Mars yang menatapnya.
Bukan lagi tatapan hangat.
"Apalagi? Kenapa semua hal yang ada di dekat lo segampang itu hancur, Ti?"
Mars tidak salah ketika menanyakan hal itu —karena Tatiana juga merasa demikian. Tatiana langsung sesak. Hatinya seperti tertusuk ribuan anak panah yang menancap tepat di hatinya. Entah karena ucapan Mars yang menghakiminya ataukah karena semua ucapan lelaki itu adalah fakta.
"Eldeiska terlalu baik untuk ngerasain ini semua Ti. Eldeiska nggak seharusnya jadi korban dari perasaan terlarang kita. Eldeiska nggak seharusnya terbaring kaku di sana!"
Tatiana mengangguk. Tanpa menatap Mars ia membalas. "Ya, karena harusnya gue yang ada di sana ngegantiin posisi dia. Kematian dia bukan hal yang semua orang pinginin, tapi kehilangan gue adalah keinginan semua orang,"
Mars terkekeh meledek. "Siapa yang mau kematian lo Ti? Siapa lagi memangnya yang masih punya kemauan atas diri lo?"
Mungkin karena Tatiana tidak dapat memberikan jawaban satu patah katapun atas pertanyaan menohok dari Mars, lelaki itu kemudian dengan tergesa memasuki ruang ICU dan langsung disambut dengan pelukan oleh Dhiya Tjandrata. Semua hal itu terekam jelas di pandangannya.
Tatiana kembali iri. Sungguh ia iri. Kapan ia akan mendapat perlakuan hangat dari semua orang? Kapan Tatiana akan didekap oleh keluarganya dan diinginkan?
Gadis itu kemudian berjalan pergi menjauhi ruang ICU. Melangkah dengan tatapan kosong. Ia mengerti. Setelah ini —setelah kepergian Eldeiska— bukan berarti hubungannya dan Mars akan mulus. Ia mengerti. Cukup dengan rasa kehilangan lelaki itu, Tatiana mengerti.
Bahwa ia lah yang seharusnya pergi.
*****
"Gue tahu lo sayang sama gue Ti. Gue juga pernah ngerasain hal yang sama,"
Tatiana menatap Mars dengan pandangannya yang terluka. "Pernah?" tanyanya dengan lirih. Bahkan terlalu lirih hingga sulit di dengar.
Mars mengangguk. "Lo nggak ngira gue akan selamanya suka cuma sama lo kan?"
Tatiana terdiam. Ia tidak berkutik. Tak lagi mampu berpikir. Pertanyaan Mars sungguh menusuk hatinya.
"Ti, lo memang menarik, gue akui. Lo juga pintar, cantik, dan banyak kelebihan lo yang selama ini ketutup dan nggak kelihatan —tapi gue bisa lihat itu semua. Gue nggak mungkin suka sama cewek yang nggak menarik Ti. Lo termasuk dari cewek yang gue suka, berarti lo menarik. Tapi bukan berarti lo spesial Ti. Lo masih jauh dari spesial,"
Tatiana masih bungkam. Pandangannya mulai memburam, namun sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ini bukan saat yang tepat untuk menangis.
"Lo terlalu lemah untuk gue Ti. Lo bukan cewek yang bisa gue ajak berjuang. Lo cewek yang cuma bisa meratapi nasib lo tanpa lo berusaha. Jangankan berusaha —lo pun nggak mau mikirin gimana caranya lo bangkit. Gue nggak suka cewek lemah Ti. Cewek lemah nggak pantas buat gue yang terlalu banyak beban dan tanggung jawab,"
Tatiana dapat merasakan Mars mendekat. Memegang kedua bahunya dan menatapnya dengan serius.
"Awalnya gue kira lo beda. Gue kira dengan keadaan keluarga lo yang nggak utuh, lo adalah cewek yang kuat. Lo bisa belajar dan berpikir dari keadaan lo. Tapi gue salah Ti. Gue salah —karena yang lo lakuin cuma meratapi nasib dan merasa paling tersakiti di dunia ini. Gue nggak bisa sama cewek kayak gitu Ti—"
"—pada akhirnya gue harus mengakui, kalau rasa suka dan sayang gue cuma sama kelebihan lo. Tapi percuma Ti. Percuma gue sayang sama semua kelebihan lo kalau lo nya sendiri selalu merasa kurang dan nggak pernah cukup. Lo selalu ngerasa diri lo semenyedihkan itu. Itu yang buat lo memang terlihat menyedihkan,"
Tatiana tersentak. "Lo nggak pernah ngerasain apa yang gue rasain Mars," kesalnya dengan suara yang penuh getaran.
Mars mengangguk. "Memang. Dan lo nggak perlu ngerasain jadi gue untuk menilai diri gue cowok yang tangguh apa bukan. Gue nggak perlu Ti ngerasain jadi lo dan berada di posisi lo untuk bisa mikir kalau lo bukan satu-satunya manusia dengan cobaan di dunia ini. Gue nggak—"
"LO NGGAK AKAN PERNAH NGERTI!" pekik Tatiana yang membungkam Mars.
"Lo nggak akan pernah ngerti hidup sendiri di dunia ini Mars! Lo nggak akan pernah ngerti rasanya keberadaan lo nggak diinginkan di dunia ini! Lo nggak akan pernah ngerti rasa hinanya punya bokap seorang bandar! Lo—"
"Apa gue perlu ngerasain jadi anak seorang bandar narkoba untuk belajar arti bersyukur Ti?" potong Mars dengan tajam.
"Apa gue perlu ngerasain hidup sebagai Tatiana untuk belajar arti menghargai diri sendiri? Lo anak bandar narkoba? Lo mengeluh? Lo masih bisa hidup enak Ti!"
Mars menarik napasnya. "Apa gue pernah ngeluh atau benci adik gue karena nyokap gue meninggal pas ngelahirin dia?! Apa gue pernah ngeluh semua tanggung jawab Tjandrata yang harusnya ada di bokap gue tapi harus dilimpahin ke gue yang masih terlalu muda untuk dunia kerja karena bokap gue cuma bisa mabok-mabokan?! Apa gue pernah minta lo kasihanin hidup gue?! Apa gue pernah minta semua orang kasihanin hidup gue?!"
Tatiana langsung terduduk dan menangis. Ia menumpahkan semua tangisannya hingga sulit untuk bernapas sedangkan Mars hanya berdiri dan menunduk melihat Tatiana tanpa berniat menenangkan gadis itu.
"Hidup ini bukan cuma tentang cobaan yang lo terima Ti. Gue punya cobaan. Semua orang punya cobaan. Itu yang ngebuat kita semua belajar —tapi nggak dengan lo. Yang lo lakuin cuma akan kayak gini —nangis dan merasa paling tersakiti. Itu yang buat lo nggak spesial buat gue Ti,"
Mars menarik napasnya. "Itu yang buat gue akan selalu milih Eldeiska dibanding lo,"
Dan tepat ketika Mars selesai mengucapkan kalimat tersebut, kedua mata Tatiana terbuka dan ia langsung dengan cepat terduduk. Peluh keringat membasahi seluruh badannya, dan ketika ia mencoba mengambil napas dan mengatur napasnya, hal pertama yang ia lihat adalah Dhiya Tjandrata yang berdiri dengan bersidekap di dekat pintu kamarnya dan memandangnya dengan marah.
******
HAIII gimana part ini??? udah mulai ngerti lah ya karakter tokohnya gimanaa...
VOTE DAN COMMENT PLEASEEE...
kalian TEAM TATI atau TEAM MARS??
Seee youuu<3
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Dla nastolatków[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...