Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka. Namun, apakah waktu dapat mengetahui luka apa yang perlu disembuhkan?
******
"Pak, kayak biasa ya,"
Tatiana tersenyum tipis ketika tangannya kini memegang satu kunci. Kemudian ia mendongak, menatap laki-laki paruh baya yang baru saja memberikan kunci tersebut padanya.
"Neng Tati, padahal saya sering dengar Neng Tati nyanyi sambil main piano loh. Kenapa harus diam-diam sih Neng? Kenapa nggak ikut ekskul band gitu Neng?"
Tatiana tidak mungkin melakukan itu. Mendaftarkan dirinya pada ekstrakurikuler band sama saja membunuh dirinya perlahan. Tidak ada yang boleh tahu Tatiana selalu rutin meminjam ruang musik di hari rabu sore. Tidak ada yang boleh tahu bahwa musik adalah pelarian Tatiana. Tidak ada.
"Tapi tenang Neng. Nggak ada yang tahu kok kalau Neng Tati pinjam ruangan musik setiap hari rabu,"
Tatiana tersenyum tipis. "Terima kasih Pak," ucap gadis itu lalu berjalan menuju ruang musik. Tempat Tatiana mengeluarkan segala emosinya. Tempat Tatiana berkeluh kesah karena gadis itu percaya, bahwa tidak akan ada satu orangpun yang membuat ia terbebas dari seluruh beban yang ia tanggung. Tidak ada. Hanya musik.
Tatiana membuka pintu ruangan. Menyalakan pendingin ruangan dan kemudian gadis itu berjalan pelan menuju piano yang terletak di tengah ruangan.
Tatiana tanpa sadar berkaca-kaca. Terlalu banyak kenangan yang tidak ia sadari kini mulai bergejolak muncul.
"Tati kalau sudah besar mau jadi apa?"
Tatiana kecil itu bersorak dengan heboh. "Pianis bial kayak Ayah!"
Bastien Arshandra tersenyum. "Jangan kayak Ayah dong. Tati harus bisa lebih dari Ayah!"
Tatiana mengerucutkan bibirnya. "Cuma Ayah yang bikin Tati suka sama musik. Jadi Tati mau kayak Ayah nantinya,"
Bastien Arshandra tertawa. Lelaki paruh baya itu kemudian menggendong Tatiana kecil. Mendekatkan jari tangan Tatiana pada tuts piano.
"Ini Re," ajar Bastien pada Tatiana.
Tatiana mencoba memencet tuts itu dan tertawa mendegar bunyi yang dihasilkan.
"Le," ujar Tatiana mengikuti.
"Re sayang, bukan Le," ralat Bastien.
"Le,"
Bastien tertawa, begitu pula Tatiana yang turut menertawakan dirinya.
Tatiana menghela napasnya. Menghapus kasar air matanya yang tidak sengaja jatuh akibat otaknya dengan sangat tidak sopan menostalgia seluruh kenangan masa kecilnya.
Tangannya dengan lihai mulai menekan tuts piano hingga menghasilkan melodi yang indah. Tak menyadari bahwa ada lelaki berdiri di samping tembok masuk.
Tatiana tidak menyadari bahwa ada seorang laki-laki yang menonton seluruh emosi yang Tatiana salurkan. Hingga ketika gadis itu menyelesaikan lagunya, barulah ia menyadari bahwa ia bukan satu-satunya orang yang berada di ruang musik itu.
Tatiana menoleh dan melirik tajam pada Mars yang menyandarkan dirinya di tembok dekat pintu. Lelaki itu menyilangkan tangannya di depan dada. Menatap lurus pada Tatiana dengan raut wajah yang datar.
"Gue baru aja nyaksiin seseorang main musik, bukan untuk menikmatinya, tapi untuk pelampiasan,"
Tatiana berdiri. Mengusap air matanya dengan kasar. Gadis itu dengan berani mengambil tasnya dan berjalan penuh emosi menuju Mars.
KAMU SEDANG MEMBACA
All Too Well
Teen Fiction[ON GOING] [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA CERITA INI!] "I don't want you to get hurt. No- in fact, I don't want us to get hurt. We will never make it Mars. Admit it," Tatiana Aulia Arshandra. Gadis dengan sejuta misteri bagi siapapun yang mengenalnya...