XXI

4.8K 768 75
                                    

pelan, baby.

XXI

★★★

Ren beranjak dari kasur itu, mencoba menghampiri Marko. Tangan itu memegang kedua sisi pinggang Marko, "Apakah rasa dari bahu Lio lebih manis?" Tanyanya penasaran.

"Mungkin? bukankah kamu harus mencobanya dahulu?" Tawaran itu terdengar menggiurkan di telinga Ren. Apalagi ia sedang lapar.

"Ren ingin merasakannya."

"Cobalah memohon."

"Ren mohon, Lio."

"Gunakan nama asliku."

Tanpa berpikir dan menuruti instruksi yang diberikan, Ren berbicara, "Marko, Ren mohon." Sorot mata memohon itu menjelaskan seberapa ingin Ren mencoba atas darah yang Marko miliki.

"Sial, itu terdengar menggairahkan." Batin Marko. Bagaimana bisa penyebutan nama membuatnya bergairah seperti ini? Semua orang bahkan memanggil namanya, tetapi rasa yang diberikan benar-benar sangat berbanding terbalik saat Ren yang memanggil namanya.

Marko berjongkok, "Sebut namaku dengan benar, Ren."

"Marko?"

"Nama belakangku, sebut nama lengkapku."

"Em.." Ren lupa. Nama lengkap Marko, Ren melupakannya.

"Marko Marcellio, sayang."

"Marko Marcellio, Ren mohon.." Permohonan itu di ulang kembali, sesuai permintaan Marko. Ren sungguh penasaran, apakah rasa yang dihasilkan akan berbeda jika tempat yang ia hisap juga berbeda?

Napas Marko tertahan sebentar, pikirannya tiba-tiba menjadi kosong, "Ya, silahkan." Ren mendekat, bahu lebar dengan otot yang terlihat jelas itu mulai tertancap taring milik Ren.

"Tidak mungkin jika menghisap darah saja bisa terasa sangat menggairahkan sekarang." Gumam Marko. Marko tak habis pikir. Pikirannya terasa menjijikan kala ia bisa saja bergairah hanya karena sebutan nama lengkapnya.

"Aku rasa, aku mulai gila."

👥👥👥👥

"Bagaimana bisa para serigala itu datang dan membuat kekacauan?"

Marko berbaring diranjang dengan Ren yang menduduki perutnya. Selesai memberikan Ren makan, Marko merasa kelelahan, jadi ia beralih untuk berbaring dan mengajak Ren mengobrol.

"Serigala? Bayi?"

"Bukan. Serigala gila, mereka menyerang wilayah kita." Jari telunjuk Marko menyentuh hidung Ren, mengentuk-ngetuk lalu beralih ke leher Ren, "Kulitmu halus." Komentarnya.

"Serigala gila kenapa menyerang?"

"Entah. Jarlen belum mendapatkan alasannya."

"Em... Serigala gila itu temannya Aro?"

"Rakyatnya." Ralat Marko.

"Kenapa tidak bertanya pada Aro alasannya?"

"Aku akan melakukannya nanti."

"Lio masih lemas?"

"Sedikit, mengapa?" Ren berpindah, berbaring disebelah Marko, menggunakan lengan Marko sebagai bantalan.

"Jangan sakit."

"Itu karenamu."

"Iya, maaf." Ren merapatkan tubuhnya, memeluk pinggang Marko dari samping. Walaupun tubuh Marko tak hangat seperti Jenaro, tapi itu cukup nyaman untuk dipeluk.

THE WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang