XXII

4.4K 753 58
                                    

pelan, okay?

XXII

★★★

Jenaro datang atas permintaan Marko. Marko mengundangnya dengan alasan berdiskusi untuk menangani para serigala gila yang bisa saja datang kembali jika tidak diketahui penyebab mereka bisa datang ke wilayah vampir.

Jenaro berjalan masuk seorang diri. Duduk dikursi yang didepannya terduduk Marko dan Jarlen. Sedikit tercium bau milik Ren walau samar di pakaian milik Marko membuat Jenaro mengepalkan tangannya menahan emosi.

"Bukan saatnya untuk cemburu, Lars." Batin Jenaro.

"Dia berdekatan dengan Ren, Jenaro!" Amarah dalam diri terasa, Jenaro berusaha untuk menahannya.

Jenaro menarik napas, "Tentang serigala gila kemarin, para serigala akan berjaga-jaga di wilayah yang diserang, aku meminta maaf atas kerusakan yang terjadi."

"Tidak perlu mengerahkan para serigala, kami bisa menjaga wilayah kami. Hanya saja, kami ingin tahu darimana datangnya mereka." Jarlen menatap lekat Jenaro. Menolak usulan Jenaro tentang penjagaan. Bangsanya masih mampu, jika sudah mulai berjaga-jaga.

"Kami juga sedang mencari tahu. Kejadian ini tidak pernah terjadi sebelumnya." Jenaro menatap dengan tegas kearah Marko dan Jarlen. Perkataan yang cukup meyakinkan dari pemimpin bangsa serigala ini.

Marko mengangguk mengerti, "Baiklah, segera beritahu kami jika sudah mengetahui alasannya."

Pintu terbuka tiba-tiba, membuat ketiga pria yang ada disana menoleh kearah pintu tersebut. Ren berlari kearah Marko tanpa melihat sekelilingnya, "Lio! Ren tidak menemukan Ien! Kamarnya kosong! Ayo, cari Ien!" Ren menarik-narik lengan Marko tak sabaran. Ia butuh seseorang untuk membantunya mencari Tavien, ia butuh teman bermainnya sekarang, dan ia juga takut kalau Tavien hilang!

"Sebentar, aku sedang diskusi."

Ren berhenti menarik, "Diskusi?" Ia menatap orang-orang yang ada disana. Menatap Jenaro yang juga menatapnya, Ren merapatkan mulutnya. Ia ingin sekali menghampiri Jenaro, hanya saja larangan yang dibuat Jarlen membuatnya lebih takut dibandingkan rasa ingin menyapa Jenaro.

Ren kembali menatap Marko, "Oh.. Maaf. Kenapa diskusinya hanya bertiga, Lio?"

"Karena hanya memerlukan tiga orang, Ren." Jelas Marko pelan, dengan elusan di tangan milik Ren.

"Tadi, Ren kira tidak masalah jika masuk karena saat Ren mengintip tadi hanya ada tiga orang. Tapi kemarin, Marko diskusi dengan banyak orang?"

"Berbeda masalah, Ren. Lagipula, mengapa mengintip dan menguping pembicaraan seseorang? Tidak sopan." Marko memberikan pengertiannya agar Ren tak mengulanginya lagi.

"Em.. Ren hanya ingin mengajak Lio mencari Ien... Tidak berniat menguping.. Kapan bisa mencari Ien?" Ren menundukkan kepalanya, bibirnya melengkung kesal karena merasa dimarahi. Ia tidak ingin dimarahi sekarang, ia ingin mencari Tavien untuk menemaninya.

"Sehabis ini."

"Kapan?"

"Sebentar lagi."

"Ren tunggu dimana?"

Marko melirik Jenaro, ia tersenyum kecil, "Dipangkuanku, kemari." Marko menarik lengan itu pelan, membiarkan Ren menduduki pahanya dengan Ren yang menghadap tepat didepan Jenaro.

Jenaro bingung, mengapa Ren bahkan tak menyapa atau menghampirinya saat ia melihat Jenaro. Mengapa Ren tidak menampilkan deretan giginya yang menunjukkan cengiran khasnya pada Jenaro? Layaknya tak saling kenal, Ren bahkan tak ingin bersitatap dengan Jenaro terlalu lama.

THE WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang