Hallo
•
•
•
Gelak tawa yang menggema mengalihkan atensi setiap siswa yang melihatnya, kadang kala membuat iri akan kebersamaan yang selalu terlihat. Mungkin semesta sedang baik membersamainya, beberapa siswi juga berbisik histeris melihat empat remaja yang berjalan melewati mereka.
Cagara Khalafa Daeirlangga, cowok urakan yang kerap menyumbang piala atas turnamen yang diikutinya. Namanya cukup dikenal seantero sekolah, tidak banyak yang berani mendekatinya.
Cowok yang berjalan angkuh di samping Cagara menampilkan wajah datarnya. "Wait, yang semalam," ujar cowok itu memberikan beberapa potongan kertas penuh tulisan pada Cagara. Tama Putrabimanyu, sederet rangkaian huruf tertera pada bed nama cowok itu.
Di persimpangan koridor menuju kelas ujian, Cagara menghentikan langkahnya tepat di mana papan pengumuman dipasang. Beberapa lembar brosur turnamen basket tertempel memenuhi papan berlatar putih.
"Ck, jeli banget mata, lo. Banyak makan wortel?" ujar cowok bercekung pipi beralih menarik satu brosur. Zeifan Lahar S, nama yang terpampang jelas pada bed namanya.
Terdengar dengusan kecil, Cagara menyahut brosur yang berada di tangan Zeifan. "Elah! Baru juga mau gue baca, ambil sendiri napa? Masih banyak juga," lontar Zeifan justru diacuhkan oleh Cagara.
"Zei, lo belajar nggak semalem?" alih cowok dengan kemeja kotak yang melapisi seragam sekolahnya. Devin Alavan O, namanya.
"Nggak, males gue. Lagian nggak bakal masuk juga, jadi percuma," jawab Zeifan tampak acuh dengan ujian terakhir.
Cagara mendengus, dalam hatinya juga menyetujui lontaran temannya itu. "Orang bego mana yang mau mati-matian belajar?" selanya.
"Orang bego juga mau kali berada diposisi seorang bintang, seseorang yang selalu dianggungkan karena juaranya, kecerdasan, juga segala pemahamannya," balas Devin menentang.
"Buang-buang energi, udah ketebak juga hasilnya," kekeh Cagara, tangannya tergerak memasukkan beberapa carik kertas pada sakunya.
Berdecak lirih, Tama sedikit membasahi bibir bagian luarnya sembarin menutup buku di tangannya. "Karena dia punya tujuan, apapun hasil yang dia dapat kalau itu jalan menuju tujuannya kenapa nggak?"
Tanpa disadari, rahang Cagara mengeras, sorot matanya menghunus seakan mengartikan sebuah rasa yang terpendam dalam. "Gue pernah diposisi itu semua," gumamnya, sengaja mempercepat ritme langkahnya.
"Niat, kalau dia belajar jauh hari. Bukan akhir ujian," lanjut Cagara bersuara.
Sefrekuensi dan sebidang itu berbeda, sangat berbeda. Dua hal yang sama-sama mempunyai luka beserta pembelaannya. Kata andai yang terselip dengan taburan perasa memang paling berkesan baik ketika menjadi nyata dan mejadi rasa yang tidak akan dicoba kembali ketika hanya berporos pada kata ke-dua dari kalimat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAGARA
Short Story"CEWEK SIALAN! Berani banget Lo sama gue!" Ya, kurang lebih umpat seperti itu selalu lolos setiap harinya dari bibir seorang CAGARA KHALAFA DAEIRLANGGA. °°° Kejadian malam itu merubah segalanya bagi dua remaja berbeda gender. °°° Kehidupan yang abu...