10~CAGARA

6K 244 2
                                    

Hallo

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Dalam gulungan selimut, Cagara masih nyaman memejamkan matanya. Tidak menghiraukan suara burung yang saling beradu di luar sana, acuh pada sinar matahari pagi yang menyorotnya sedari tadi.

"Anak bujang jam segini belum bangun?" teriak Nenek menggema, membuat cucunya sedikit terusik dan mengeliat.

Pintu kamar Cagara yang sedari tadi tertutup rapat, kini dibuka kasar oleh wanita paruh baya yang berkacak pinggang.

"Gara, bagun! Udah siang masing tidur, lihat istri kamu itu. Masih jam tujuh aja udah rapih, udah pergi dia," dumel Nenek menarik kasar selimut yang membungkus cucunya itu.

Tidak menyerah, Nenek Willya memukul pelan kaki Cagara yang masih tertutup selimut. "Anak ini, bandel banget disuruh bangun. Udah jam setengah sembilan Cagara Khalafa Daeirlangga! Cuci-cuci motor, dari pada dianggurin," ujar Nenek membuang napasnya lelah. Kepalanya kesal, Nenek Willya menarik kaki cucunya itu kasar.

"ARGHHH!" erang Cagara diiringi ringisan.

"Nek! Kaki Gara sakit, kenapa ditarik?" gemas Cagara mengitip sedikit ke arah neneknya yang berkacak pinggang.

"Punya cucu satu aja kelakuannya bikin naik darah," ujar Nenek menggelengkan kepalanya. "Mandi kamu!" lanjutnya kemabli menarik selimut yang hendak ditarik kembali oleh Cagara.

Setelah mandi walaupun enggan, Cagara kemudian berjalan menuju dapur karena perutnya yang terasa kosong.

Seulas senyum tanpa sadar terukir pada bibirnya. Setelah menyibak tirai pintu dapur, Cagara melihat neneknya tengah berkutat memarut jahe.

"Laper, Nek," ujar Cagara mengagetkan wanita paruh baya itu.

Nenek Willya berjalan mendekati cucunya yang dudu memperhatikan dirinya itu, membawa mangkuk berisi parutan jahe yang sudah diraciknya.

"Makan aja, Killa sudah masak tadi. Nenek juga sudah makan, kamu dibangunin susah," balas Nenek Willya menunjuk tudung saji yang tertutup dengan dagunya. "Ambil makan terus ke depan, sekalian kasih kaki kamu jahe," lanjut wanita paruh baya itu yang dibalas gumaman malas.

Kini Cagara duduk lesehan di karpet ruang tengah, dengan punggung yang bersandar pada. Mulutnya terus mengunyah, tak jarang merintih ketika luka membirunya teroles jahe.

Dengan telaten nenek Willya meratakan parutan jahe pada kaki membiru cucunya. "Kenapa sampai bisa keseleo? Pasti bandel kamu," tanya wanita paruh baya itu juga menuduh.

"Tempo hawri keselewo di pawnti, kewmawrin tanwding bawsket," jawab Cagara, mulutnya penuh dengan nasi.

Nenek Willya menyentil pelan bibir Cagara yang sedikit mencondong. "Telen dulu, kebiasaan kamu itu!" dumelnya.

CAGARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang