"Aku percaya, tidak ada yang kebetulan, saat penulis skenario terindah menakdirkan kita bertemu."
—Rakit—***
Pagi di kota Bandung dalam keadaan cerah hari ini. Jalan-jalan sudah mulai penuh dengan kendaraan yang mau bermacet-macetan ria untuk melakukan aktivitasnya. Trotoar mulai dilintasi oleh para pejalan kaki. Matahari yang menyambut para manusia ini, seolah memberikan setiap harapan dan semangat baru bagi mereka yang mungkin hampir menyerah dengan hidup.
Waktu masih menunjukkan pukul 06.15 WIB. Tapi, seorang gadis berseragam SMA dengan name tag Cahaya Anara itu sudah sampai di sekolahnya. Sepagi itu? Ya, begitulah Cahaya. Apalagi hari ini hari senin. Para anggota OSIS sudah harus sampai di sekolah dan mempersiapkan agar upacara bendera dapat berjalan dengan lancar.
"Pasti deh, yang lain siang. Aneh gue, ini gue yang kepagian atau mereka yang kesiangan, sih?" gerutunya.
Mata Cahaya tiba-tiba tertuju pada sebuah Diary Coklat yang tergeletak di meja guru. "Diary? Punya siapa?" Cahaya bergumam sembari mengambil buku tersebut. Hanya saja, ia tak berani membukanya.
Brumm....
Suara motor Pak Hidayat, guru Sejarah sekaligus Pembina OSIS itu membuyarkan lamunan Cahaya. Ia segera menghampiri Pak Hida dengan senyuman mengembang. Tapi, tunggu. Pak Hida bersama dengan seorang remaja pria yang seusia dengannya.
"Pak," sapa Cahaya dengan senyuman.
"Hei, meni rajin wayah kieu tos dongkap!" puji Pak Hidayat.
"Nya atuh!" jawab Cahaya.
Cahaya melirik remaja itu sekilas. Dan remaja itu, malah melirik ke arah Diary yang dipegang Cahaya. "Eh, Kahfi! Itu teh Diary kamu kan?" tanya Pak Hidayat.
"Oh, namanya Kahfi." batin Cahaya.
"Iya, Pak."
"Oh, iya. Tadi, aku nemuin ini di atas meja guru. Tapi, aku nggak baca isinya, kok!" ucap Cahaya sembari menyerahkan Diary tersebut pada Kahfi.
"Ya sudah, Bapak teh ke kantor dulu sebentar, ya? Kamu tunggu disini dulu ya, Fi?"
Kahfi hanya mengangguk patuh. Saat Pak Hidayat sedikit menjauh, Cahaya berinisiatif mengajak Kahfi berkenalan. "Cahaya Anara. Cahaya." ucap Cahaya dengan senyuman dan uluran tangannya.
"Muhammad Kahfi Hanafi. Kahfi." Kahfi hanya membalas dengan menelungkupkan tangan di depan dadanya.
Cahaya sedikit tertegun. Entah kenapa dia sedikit merasa bahwa Kahfi ini aneh. Kenapa harus menelungkupkan tangannya segala? "Hayuk, Fi! Kita ke ruang Tata Usaha sekarang!" ajak Pak Hidayat.
"Saya duluan, assalamualaikum." ucapnya sembari tersenyum sedikit kaku.
"Waalaikumussalam," jawab Cahaya sembari tersenyum. Yang ia rasakan sekarang aneh. Seolah-olah ada banyak kupu-kupu beterbangan di perutnya. "Dia kenapa, sih? Aneh banget! Orang gue ngajak kenalan juga!" gerutunya pada diri sendiri.
"Nuju naon neng, enjing-enjing tos ngalamun?" ucapan remaja pria membuyarkan lamunannya. Dia, Nando Hardani. Cowok yang kadang tengil, dewasa, lucu dan lain-lainnya. Itu menurut Cahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKIT
EspiritualSpiritual-Teenfiction Ini tentang abu-abu yang dihampiri warna pelangi. Dan juga luka yang membalut dirinya sendiri, bersama setiap doa yang ia panjatkan kepada-Nya. ⚠️BUAT DIBACA BUKAN DIPLAGIAT.⚠️ Rank 🏅 3 in Rakit Rank 🏅 15 in Kahfi Rank 🏅 7...