"Mereka menghakimi tapi tak pernah tahu sakitnya dihakimi tanpa bisa memilih."
—Rakit—***
"Zan, tinggalin!" komando Yusuf. Rizan menyentak kepala Kahfi dengan kasar.
Kahfi memegangi kepalanya yang terasa sakit. Ia dihampiri oleh seseorang yang sempat ia tolong beberapa hari lalu. Kahfi mengenalinya. Bahkan dari suara dan aroma dari jaket cowok itu.
"Fi, lo nggak papa?" tanya Dean sembari membangkitkan Kahfi perlahan.
"Dean," lirih Kahfi. "Kamu—kenapa bisa ada disini?" tanya Kahfi.
"Itu nggak penting. Kita kesana dulu!" Dean memapah Kahfi untuk duduk di dekat pinggiran danau kecil.
Kahfi memejamkan matanya sejenak. Sakit di kepalanya sedikit mereda. Ia kembali melayangkan tatapannya pada Dean. "Kamu—kenapa bisa ada disini?"
"Lo nggak ada niat laporin kejadian tadi?" tanya Dean.
Kahfi menunduk. Ia terdiam. "Gue rasa itu udah masuk dalam kasus pembullyan,"
"Kalau mereka di DO gimana?" tanya Kahfi balik.
"Ya bagus. Mereka harus mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan!"
"Orang tua mereka gimana?" tanya Kahfi.
Dean diam. "Lo menormalisasi apa yang mereka lakukan gitu?"
Kahfi tersenyum sembari menggeleng. Ia menatap awan diatasnya. "Rasanya, kalau saya laporin mereka dan mereka di DO. Saya menghancurkan impian orang tua mereka."
"Keluarga lo—juga nggak baik-baik aja?" tanya Dean.
Kahfi mengangguk lemah. "Gue juga, kok!" Dean menghela nafas panjang. "Nyokap sama bokap gue cerai. Katanya, nyokap gue terlalu sibuk sama kerjaannya, alhasil bokap gue selingkuh. Mereka rasa udah nggak bisa sama-sama dan—memilih cerai." ucap Dean panjang lebar. Tanpa sadar, Dean menceritakan semuanya pada Kahfi tanpa Kahfi minta.
"Terus sekarang kamu gimana?" tanya Kahfi penasaran.
"Ya begini! Kesana kemari, kadang ke bokap kadang ke nyokap! Kadang-kadang kalau lagi pusing ya ke jembatan, kalau nggak nyari masalah kayak waktu gue ketemu, lo!"
Kahfi mencerna setiap ucapan Dean. Ada luka yang tak boleh terlihat. Tapi, sepertinya Dean juga tak sekuat itu. "Lo sendiri kenapa?" tanya Dean.
Kahfi tersenyum simpul. "Kecelakaan,"
Dean menautkan kedua alisnya sesaat. "Maksudnya—nyokap bokap lo—"
"Nanti juga kamu tau sendiri, kok!" potong Kahfi. "Kadang saya bingung, kenapa ada orang yang begitu senang menghakimi orang lain. Tanpa dia tahu, orang itu juga nggak bisa memilih." ucap Kahfi.
Dean terkekeh sinis. "Kerjaan manusia emang gitu, kan?"
Kahfi menunduk melihat bayangannya di air danau. Tapi—
Clak
Kahfi meraba hidungnya perlahan. Tangannya mendapati sebuah cairan kental berbau anyir. Darah.
![](https://img.wattpad.com/cover/296785407-288-k86451.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKIT
AléatoireSpiritual-Teenfiction Ini tentang abu-abu yang dihampiri warna pelangi. Dan juga luka yang membalut dirinya sendiri, bersama setiap doa yang ia panjatkan kepada-Nya. ⚠️BUAT DIBACA BUKAN DIPLAGIAT.⚠️ Rank 🏅 3 in Rakit Rank 🏅 15 in Kahfi Rank 🏅 7...