"Kadang kita terlalu fokus dengan masalah. Sampai lupa dengan banyaknya bahagia yang Allah berikan."
—Rakit—***
Langkah kaki remaja berusia 18 tahun itu berayun pelan. Semakin lambat, sampai seolah kakinya tak lagi berpijak. Tatapan mata yang biasa teduh itu kini kembali berembun. Ternyata, seperti ini rasanya bertemu dengan seseorang yang kita sebut Ayah?
Kahfi meraih tangan pria berusia 38 tahunan itu. Sebuah tangan yang ingin ia genggam selain tangan ibunya. Semua memori itu terekam dengan sangat jelas diingatan Kahfi. Saat ia meminta pada Pak Hidayat untuk terus mencari informasi tentang ayah kandungnya. Terdengar tidak sopan? Memang! Bahkan lebih tepatnya tidak tahu diri.
Kahfi sadar, saat ia diangkat menjadi keponakan Pak Hidayat. Seharusnya, ia tidak meminta banyak hal. Tapi-Kahfi ingin, bertemu dengan kedua orang yang menjadi perantara ia hadir ke dunia. Apa itu salah?
Kahfi mencium punggung tangan pria itu dengan penuh haru. Meski, Pak Hidayat dapat melihat dengan jelas, mata pria itu hanya menatap Kahfi datar.
"Dia Kahfi. Anak kamu," ucap Pak Hidayat.
Pria itu tersenyum samar. Ia mengelus pelan Kahfi, dan meminta anak itu duduk di sebelahnya. "Duduk, Nak!"
Kahfi segera bangkit dan menghapus air matanya dengan cepat. Ia segera menampilkan senyuman terbaiknya dihadapan sang Ayah. Ia bahkan tidak sedetikpun menghilangkan senyumnya. Ini adalah momen yang sangat ia tunggu selama hidupnya, jadi Kahfi tidak akan melewatkannya begitu saja.
Tanpa Kahfi sadari, seseorang yang mengantarkannya kesini belum kembali. Dean masih memantau interaksi mereka semua dibalik pintu Cafe.
"Ternyata hidupnya nggak jauh beda sama, gue. Kayaknya itu-bokapnya." gumam Dean.
Di pikirannya, saat Kahfi berbicara di warung tadi, hidup Kahfi pasti berjalan mulus dan tidak dihinggapi banyak masalah. Tapi-yang Dean lihat seolah berbalik. Ia bisa melihat kerinduan yang begitu menggebu di mata Kahfi. Tapi-tatapan pria di depannya justru seolah tak memiliki rasa apapun.
"Nama kamu siapa?" tanya pria itu dengan penuh wibawa.
"Kahfi, Yah! Nama aku, Kahfi!" jawab Kahfi dengan sangat antusias.
Pak Hidayat memalingkan wajahnya sesaat. Kenapa ia rasa ada yang janggal dari kebaikan pria dihadapannya ini?
"Nama yang bagus. Oh, ya saya minta ma-"
"Nggak papa kok, Yah! Kahfi udah maafin." Kahfi menyela terlebih dahulu ucapan pria itu. Ia tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia sudah memaafkan seseorang yang ia sebut Ayah itu. Meskipun Kahfi juga tidak bisa menyangkal, kadang ia sering mempertanyakan kenapa kedua orangtuanya sebegitu tak ingin ia ada.
Pria itu tersenyum simpul. "Nama saya-Hadi." Kahfi mengangguk sembari tetap tersenyum. Melihat Ayahnya bersikap hangat begini, ia yakin bahwa Ayahnya, akan menerimanya. Tidak seperti, Tiara-ibunya.
"Kahfi, sudah bertemu, kan?" tanya Pak Hidayat dengan nada lembutnya. "Kita pulang sekarang, ya?"
Kahfi menggeleng dengan sedikit panik. "Pak, kan baru sebentar!" protesnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
RAKIT
SpiritualSpiritual-Teenfiction Ini tentang abu-abu yang dihampiri warna pelangi. Dan juga luka yang membalut dirinya sendiri, bersama setiap doa yang ia panjatkan kepada-Nya. ⚠️BUAT DIBACA BUKAN DIPLAGIAT.⚠️ Rank 🏅 3 in Rakit Rank 🏅 15 in Kahfi Rank 🏅 7...