"Tangguh dan kuat, bukan berarti tidak boleh menangis. Karena nyatanya Allah menciptakan air mata, saat bibir sudah tidak bisa berkata."
***
"Cukup!"
Seorang gadis berpakaian seragam yang sama dengan Kahfi dengan berani memotong semua amukan Tiara. Wanita berusia 35 tahun itu menyipitkan matanya dengan dada yang masih naik turun.
Cahaya terkekeh geli. Ya, gadis itu Cahaya. "Ternyata, seorang wanita berparas bidadari, dan ibu berhati malaikat ini tidak lebih dari dari monster bertopeng peri baik!" sarkas Cahaya.
"Diam kamu!" sentak Tiara.
"Tau apa kamu soal saya?!"
Cahaya tersenyum sinis. "Saya jelas tau tentang Anda! Siapa sih yang nggak mengenal Tiara Raharja, istri konglomerat yang memiliki tiga anak!" jeda. "Disebut-sebut berhati malaikat, tapi isinya-"
"Aya cukup!" potong Kahfi. Ia bangkit dari posisinya.
"Saya peringatkan sama kamu! Nggak usah ikut campur soal urusan saya dengan anak ini! Lagipula, saya hanya punya dua anak!" tunjuk Tiara pada Kahfi dan Cahaya. "Dan kasih tau dia, kalau sampai dia mati sekalipun, saya nggak akan pernah menganggap dia anak saya!" Tiara lantas melenggang pergi meninggalkan Kahfi yang kini air matanya kembali mengalir deras.
"Monster," gumam Cahaya. Cahaya mengalihkan atensinya pada wajah Kahfi yang kini penuh dengan air mata. Lelaki itu, terlihat rapuh. "Ayok, pergi! Jangan berdiam diri di tempat yang bikin kamu sakit!" Kahfi menoleh ke arah Cahaya dengan tatapan sendu nya. Ia lantas mengikuti jejak Cahaya yang entah akan membawanya kemana. Yang jelas, ia hanya ingin menenangkan dirinya sekarang.
Cahaya ternyata membawanya ke sebuah taman didekat danau. Tanpa disangka, melihat ketenangan danau itu, air matanya kembali berjatuhan tanpa permisi. Kahfi memejamkan matanya sejenak, membiarkan air mata itu turun. Otaknya kembali memutar peristiwa beberapa menit lalu. Ia mengeluarkan kalung yang sempat dibuang bahkan diinjak-injak oleh Tiara dihadapannya. Sakit! Sakit, Ya Allah! Lantas, kenapa ia harus lahir kalau ia malah dibenci seseorang yang menjadi perantaranya ada di dunia ini.
Kahfi terisak hebat. Isakan-isakan kecil itu mampu menyadarkan Cahaya dari diamnya. "Nangis aja sepuas lo, ya? Hari ini kayaknya berat."
Bibir Kahfi terus mengeluarkan isakan-isakan kecil itu. Ia mencium kalung itu, berharap semuanya akan berubah, dan ibunya yang ia cium. "Gue nggak ngerti, Fi! Kenapa Allah ciptakan manusia berhati malaikat kayak, lo. Tapi, harus lahir dari hati seorang ibu berhati iblis kayak Tante Tiara?" batin Cahaya. Tanpa sadar, ia ikut meneteskan air mata atas apa yang terjadi pada Kahfi.
"Ya Allah," Kahfi terisak sembari menyebut nama Allah.
Cahaya menghapus air matanya pelan. "Gue-beli minum bentar, ya?" Cahaya bangkit.
"Aya," lirih Kahfi. Cahaya menoleh ke arah Kahfi. "Ternyata saya nggak sekuat itu," lanjutnya dengan lirih.
Cahaya mengangguk pelan. "Bukannya di dunia ini, memang nggak ada manusia yang benar-benar kuat?" Cahaya lantas beranjak membeli minum untuk Kahfi.
Dan remaja lelaki itu, masih ada di posisinya. Ia menatap kosong ke arah danau. Teringat ucapan terakhir Tiara yang menyatakan bahwa sampai ia matipun tidak akan ada rasa sayang untuk Kahfi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAKIT
SpiritualSpiritual-Teenfiction Ini tentang abu-abu yang dihampiri warna pelangi. Dan juga luka yang membalut dirinya sendiri, bersama setiap doa yang ia panjatkan kepada-Nya. ⚠️BUAT DIBACA BUKAN DIPLAGIAT.⚠️ Rank 🏅 3 in Rakit Rank 🏅 15 in Kahfi Rank 🏅 7...